Rabu, 22 Desember 2010

EKSISTENSI MASHLAHAH DALAM LITERATUR ISLAM

EKSISTENSI MASHLAHAH
DALAM LITERATUR ISLAM

I. PENDAHULUAN

            الحمد لله الذي أنقذنا بنور العلم من ظلمات الجهالة وهدانا بالاستبصار به عن الوقوع في عماية الضلالة, والصلاة والسلام على رسول الله وعلى أله وصحبه ومن والاه. وبعده

          Sebagai syari'at yang terakhir (khotimatu al Syaroi') syari'at Islam merupakan syari'at yang universal (menyeluruh), oleh karena itu asas atau pondasi  dari Islam harus bersifat musytarok agar dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Sebagaimana yang telah diterangkan dalam Al Qur'an dan Hadits yang diantaranya:


 قال تعالى : وما أرسلناك الا كافة للناس[1]

 وقال النبى صلى الله عليه وسلم : وكان الرسول يبعث إلى قومه خاصا وبعثت إلى الناس عامة[2]

Itu semua dapat terwujudkan kalau memang syari'at menjaga mashlahah yang ada entah itu mashlahah yang bersifat duniawi atau ukhrowi.

            Oleh karena itu kami berusaha mengupas tentang eksistensi mashlahah dalam literature Islam, seberapa manakah mashlahah itu dipertahankan, sebesar manakah mashlahah itu dianggap dan sebatas manakah mashlahah itu dapat diterima.


II. DEFINISI MASHLAHAH

            Dalam literature etimologi Imam Ibnu Faris mengartikan mashlahah sebagai suatu kebaikan yang mana berangkat dari madah sho-la-ha. Walaupun kalau kita tilik kedalam ternyata tidak ditemukan sinonimnya, sehingga dalam mena'rifinya  harus dengan ta'rif dliddiyyah ( ضدية ).[3]

            Dalam literature terminology beberapa ulama` berbeda pendapat dalam mengartikannya. Dimana Imam Ibnu Abdissalam mengartikan mashlahah sebagai wujud suatu kebaikan atau kemanfaatan, begitu juga artian dari mafasid yang nggak jauh dari kebalikan arti mashlahah itu sendiri[4]. Lain halnya dengan Imam Ghozali yang lebih mengangkat ikon jalbu al manfa`at dan daf'u al madhorot yang tak lain adalah maqsud al syariah, dengan demikian Imam Ghozali mendefinisikan mashlahah sebagai langkah nyata untuk mewujudkan maqsud al tasyri` yang berkisar antara lima pokok, yaitu penjagaan agama, penjagaan badan, penjagaan harta , penjagaan aqal, dan penjagaan keturunan[5].

            Secara fitrah Islam adalah agama yang memelihara manfa’at dan menjadikannya sebagai dasar dari apa yang telah diberikan kepada hambanya dari akhlaq dan kemulyaan dan agar kesempurnaan manfa’at ini menjadi modifikator atas apa yang telah disyari’atkan Allah kepada hambanya dan beberapa hukum.[6]

            Kajian tentang mashlahah tidak lepas dari pendapat dari dua kubu yaitu kubu filosofis dengan kubu Ulama, secara garis besar Khashaish Al Mashlahah menurut filosofis dapat kami simpulkan menjadi tiga kategori:

   1. Literatur masa yang mereka jadikan referensi dan analog mashlahah dan mafsadah adalah merupakan literatur yang sempit dan hanya terbatas dengan umur Dunia saja dalam arti tidak sampai berimbas pada mashalih dan mafasid ukhrawi karena mereka tidak memandang jauh aspek sisi luar apa yang ada setelah kehidupan di Dunia ini  sehingga menjadikan meraka hanya menggantungkan cita-cita mereka pada sesuatu yang berhubungan dengan Dunia atau yang menjadi washilah untuk menggapai Dunia sehingga literature mereka di dalam menghukumi jelek atau baiknya perkara berada dalam kerancuan dan kebimbangan sesuai dengan kecenderungan dan kesenangan mereka sendiri-sendiri.
   2. Mashlahah menurut mereka hanyalah diukur dengan kesenangan dan materi saja baik hal tersebut berkonsekuensikan menjadi hak-hak pribadi maupun social dan tidak pelak lagi kalau mashlahah menurut pendapat orang kapitalis terbagi menjadi tiga yaitu :insiyyah, maknawiyyah dan jismiyyah. Dan semua kembali pada satu tujuan yaitu:- segala sesuatu  yang layak dinamakan- kenikmatan materi
   3. Agama menurut mereka adalah cabang dari suatu mashlahah dalam arti Agama hanya dijadikan sebagai alat bantu di dalam melegalisir sebuah mashlahah yang mu’tabar menurut mereka.

Maka tidak diragukan lagi kalau hal semacam ini merupakan hal yang lazim bagi orang yang menjadikan manfa’at duniawi sebagai tujuan pokok dan merupakan segala-galanya[7]


III. LEGITIMASI DALIL SYARIAT PADA HUKUM MASHLAHAH


           Mungkin benar, kalau dikatakan bahwa mashlahah mempunyai peran fital dalam bingkai tasyri al ahkam. Meski kita tidak menutup mata adanya polemik di percaturan pemikir ushul tentang keberadaan illat itu dapat berpengaruh dalam hukum ( مؤثر له ) atau hanya sekedar alamat ( معرف له فقط ), namun mereka tetap sepakat bahwa  mashlahah adalah jaminan dari semua hukum syariat[8]. Notabene hal diatas kiranya cukup untuk legalitas hukum mashlahah dengan dukungan dalil-dalil syariat yang diantaranya:


1. Dalil kitab                                                

            Dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang mendukung tentang  legitimasi hukum mashlahah diantaranya:


وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين[9]

إن الله  يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون[10]

 Dalam ayat pertama dapat memposisikan syariat yang dibawa Rosul sebagai rahmat bagi alam semesta yang dalam hal ini hanya dapat terwujud kalau memang syariat memprioritaskan kemashlahahan dan kebahagiaan umatnya. Sedangkan ayat kedua menunjukkan adanya perintah berbuat adil dalam setiap aspek kehidupan kita. Dari hal itu bisa diambil benang merah adanya legitimasi mashlahah yang ditimbulkan  adanya keseimbangan antara kelalaian ( إفراط) dan melampaui batas (تفريط).

            Dari kutipan dua ayat diatas dan beberapa ayat yang lain bisa diambil kepahaman bahwa tujuan dari tasyri' al ahkam, mulai dari hukum qishos, had dan lain sebagainya adalah mewujudkan kemashlahatan bagi umat manusia[11].


2. Dalil sunnah

            Seperti halnya Al-Quran, haditspun mengakui relevansi hukum mashlahah dalam bingkai tasyri' al ahkam, diantaranya:


قوله عليه الصلاة والسلام الإيمان بضع وسبعون شعبة أعلاها شهادة ان لا إله إلا الله وأدناها اماطة الأذى عن الطريق[12]

قوله صلى الله عليه وسلم الخلق كلهم عيال الله فأحبهم الى الله أنفعهم لعياله[13]

Dalam hadits pertama diterangkan dua sisi hakikat iman, yang mana sisi awal adalah pengakuan tauhid dalam rangkaian konsep aqidah. Sedangkan sisi lain iman bisa diwujudkan dengan contoh sederhana yang mengandung konsep mashlahah kepada sesama, seperti menghilangkan gangguan di jalan. Sehingga  mashlahah dengan macam-macam bentuk dan faedahnya merupakan satu kesatuan yang dikandung dalam bingkai iman[14].

            Dalam hadits kedua dijelaskan adanya sebuah mashlahah bisa menjadi  tolok ukur kedekatan seorang hamba kepada tuhannya, yang pada akhirnya mashlahah itu bisa dibuat standarisasi ketentuan syariat[15].


3. Dalil Qowaid

            Legalitas suatu hukum mashlahat tidak hanya berangkat dari nash, ada juga beberapa dalil qowaid yang sudah menjadi konsensus umum yang mempunyai andil dalam mengesahkan hukumnya. Adapun qoidah-qoidah itu diantaranya :

1.    Adanya tingkatan derajat maksiat

            Pada hakikatnya maksiat jika ditinjau dari bentuk larangannya itu memiliki kesamaan derajat dosa, namun jika ditinjau dari  dampak yang ditimbulkan maka akan berpengaruh pada besar kecilnya dosa yag ada, ketetapan inipun juga berlaku pada suatu kebaikan.[16].

            2. Ketetapan hukum wadh'i

            Akal dan kedewasaan seseorang adalah dua dari beberapa faktor esensial yang menjadi ketentuan hukum taklif, Cuma kalau kita melihat perilaku-perilaku yang tabiatnya mengarah pada penafian mashlahah maka bisa berkonsekuensi hukum wadh'i walau tidak di rel taklifi, hal ini hanya untuk merestorasikan mashlahah yang sempat hilang

            Tentunya hal ini adalah wujud legitimasi mashlahah dengan pencapaiannya yang sempat hilang kalau suatu perilaku kita tilik dari satu sisi saja, dicontohkan dengan adanya hukum diyat dalam pembunuhan, hukum ganti rugi, hukum fidyah dan lain sebagainya yang tak lain adalah wujud legalitas mashlahah dalam syari'at[17]

          

IV. KLASIFIKASI MASHLAHAH


            Dalam mendefinisikan mashlahah kita memang agak sulit karena mashlahah itu sangat banyak dan sering berubah-ubah nenurut kondisi yang ada, bahkan terkadang syari'at juga datang dengan tujuan-tujuan yang mengesampingkan perkara yang menurut para cendikiawan merupakan suatu mashlahah pada masa itu dengan menetapkan mashlahah yang kuat[18]

            Tapi secara realita yang ada mashlahah manusia tidak keluar dari tiga perkara yaitu dloruri, hajji dan tahsini, sebagai contoh dalam suatu keadaan manusia pasti membutuhkan rumah untuk dihuni  yang dilengkapi beberapa perabot dan hiasan[19]

            Sedangkan argument yang menunjukkan bahwa setiap hukum Islam disyariatkan untuk menciptakan ketiga mashlahah adalah investigasi (istqro') pada hukum syari'at baik secara keseluruhan (kulliyyah) atau sebagian (juz'iyyah) dalam setiap kejadian dan bab-bab yang berbeda. Dan juga investigasi terhadap 'illat-'illat dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam hukum syari'at[20].

            Berikut akan kami terangkan definisi ketiga mashlahah tadi dalam hukum syari'at


1. Mashlahah Dloruriyyah


            Adalah mashlahah yang secara  dlorurot (mau tidak mau) harus dihasilakan oleh manusia untuk menjaga tatanan (nidlom) kehidupan mereka baik dalam segi agama maupun dunia, apabila mashlahah ini tidak tercapai maka kehidupan mereka akan kacau dan hancur berantakan  tak ubahnya seperti  kehidupan binatang yang menerapkan adanya hukum rimba.[21] Menurut kebanyakan ulama' mashlahah ini terwujudkan dalam lima perkara yaitu hifdzu al Dien, hifdzu al Nafsi, hifdzu al Aqli, hifdzu al Amwal, hifdzu al Ansab sedangkan Imam Qorofi dari At Thufi menambahkan satu yaitu hifdzu al A'rodz[22]. Mashlahah dloruriyyah ini telah diisyarohi oleh Al Qur'an dalam ayat


يا أيها النبي إذا جاءك المؤمنات يبايعناك على أن لا يشركن با الله شيئا ولا يسرقن ولا يزنين ولا يقتلن أولادهن ولا يأتين بهتانا يفترينه بين أيديهن وأرجلهن[23]

Dalam hal ini syariat tidak banyak menyinggung tentang mashlahah dloruriyyah karena mashlahah ini sudah tertancap dalam tabi'at manusia sejak zaman dahulu[24]


2. Mashlahah Hajjiyyah

            adalah perkara yang dibutuhakan manusia supaya tatanan kehidupan mereka teratur dengan baik, mendapatkan kemudahan dan menghilangka kesempitan bagi mereka. Oleh karena itulah disyariatkan bermacam-macam mu'amalah dan rukhshoh[25].

            Sebagian mashlahah hajji juga ada yang masuk dalam lima perkara yang telah disebutkan dalam mashlahah dloruri hanya saja tidak sampai dalam batas dlorurot (keharusan) seperti disyaratkanya wali dalam nikah dan diharamkanya riba walaupun keduanya disyariatkan untuk hifdzu al Nasab dan Amwal tapi hanya sebatas penyempurna saja tidak sampai pada batas dlorurot[26].


3. Mashlahah Tahsiniyyah

            Mashlahah ini digunakan sebagai penyempurna tatanan kehidupan manusia (bangsa) sehingga mereka bisa hidup aman, tentram dan sedap dipandang mata. . Karena adat istiadat yang baik mempunyai andil untuk masuk dalam mashlahah ini, baik adat yang menyuluruh seperti menutup aurot atau adat yang khusus seperti memanjangkan jenggot[27].

            Oleh karena itu apabila mashlahah ini tidak tercapai maka tatanan kehidupan manusia tak akan hancur sebagaimana bila mashlahah dloruroh tak terpenuhi, juga mereka tak akan berada dalam suatu kesempitan seperti pada mashlahah hajji[28].


V. SYARAT SYARAT MASHLAHAH YANG MU'TABAR


Horizontal Scroll: Eksistensi mashlahah dalam literatur islam 7A. Mashlahah tidak boleh bertentangan dengan Al Qur'an.                       Mashlahah bisa dijadikan referensi hukum jika memang tidak bertentangan dengan nash Al Quran, karena mashlahah itu sendiri adalah tujuan syariat yang tidak mungkin bertentangan dengan nash Al Qur'an, sehingga bila ada mashlahah yang bertentangan dengan Al Qur'an maka perlu dicurigai apakah itu benar- benar mashlahah atau sekedar hawa nafsu saja (mashlahah fiktif)[29].


B. Mashlahah tidak boleh bertentangan dengan  Al Sunnah


             Sunnah sebenarnya  tidak jauh berbeda dengan Al Qur'an, Karena  keduanya adalah masdaruttasyri' yang mujma' 'alaih. Secara global pertentangan antara mashlahah dengan nash baik berupa alqur'an ataupun hadits dapat di simpulkan menjadi dua hakikat (perkara) yang penting.

1. mashlahah yang bertentangan dengan nash terbagi menjadi dua, yaitu :

   a. mashlahah mujarrodah (fiktif) yang tidak mempunyai argument (mustanad) berupa ashl yang mu'tabar, mashlahah ini disebut dengan mashlahah mursalah

   b. Mashlahah yang nenpunyai pendukung berupa ashl yang mu'tabar yaitu mashlahah yang bertendensi pada dalil qiyas.

2. Pertentangan antara mashlahah dan nash adakalanya berupa takholuf mu'arodloh yaitu ketika keduanya tidak bisa dijami'kan. Dan adakalanya takholuf juz'I dimana keduaya bisa dijami'kan dengan cara tahsis dan sebagainya[30]. Inipun berfungsi apabila mashlahah itu mempunyai sandaran  (mustanad) yang mu'tabar bukan sekedar mashlahah mursalah (fiktif)


C. Mashlahah tidak bertentangan dengan qiyas


            Sebenarnya qiyas dan mashlahah tidak jauh berbeda, karena fungsi daripada qiyas adalah menjaga mashlahahnya cabang (far') yang 'illat hukumnya sama dengan ashl. Jadi dalil qiyas dan mashlahah itu sama-sama mempunyai mashlahah, hanya saja dalam qiyas mempunyai keistemewaan yaitu mempunyai 'illat yang dii'tibar oleh syara' dengan disebutkan dalam suatu nash atau ijma' atau yang lainya (masalik al 'illat). Berbeda dengan mashlahah muthlaqoh yang hanya bertendensi pada jenisnya yang jauh seperti jenisnya hifdzu al arwah, hifdzu al Aql, hifdzu al Nasab dan sebagainya tanpa memandang adanya 'illat[31].

            Jadi hakikat dari pertentangan mashlahah dengan qiyas adalah pertentangan antara dalil yang lemah dengan yang lebih kuat, dan tidak diragukan lagi yang kuat. pasti yang dimenangkan.


D. Sebuah mashlahah tidak boleh bertentangan dengan mashlahah yang lebih penting atau yang   sederajat


            Seperti kita ketahui bahwa syiariat Islam itu mengandung mashlahah bagi umat manusia mungkin sudah menjadi rahasia Ilahi dimana ada kesusahan dan penderitaan disitu selalu beriringan atau seirama terhadap apa-apa yang diinginkan[32],

            Standarisasi dalam permasalahan ini mungkin kita bisa rangkum dalam tiga bagian, yang pertama dipandang dari segi keberadaanya,  yang kedua dipandang dari konprehensi (cakupan), yang ketiga dipandang dari sisi dampak-dampak yang dihasilkannya[33]. Maka apabila ada mashlahah yang bertentangan, harus dikembalikan pada ketiga-tiganya.


VI. PENUTUP


            Secara umum tujuan dari syari'at Islam adalah mewujudkan dar'u al mafasid wa jalbu al masholih bagi seluruh umat, sehingga sedikit banyak mashlahah itu memberi pengaruh dalam hukum, namun yang perlu kita cermati adalah sebatas manakah mashlahah itu bisa dii'tibar oleh syara' sehingga dapat dijadikan referensi hukum, oleh karena itu kita harus memberi batasan ruang lingkup mashlahah agar tidak terjerumus dalam lembah liberalisme  yang mendewakan pikiran dan hawa nafsu bahkan sampai-sampai berani memarkirkan nash hanya karena ada sesuatu yang mereka anggap mashlahah (fiktif).

            Walaupun pendapat ini telah dilontarkan oleh Imam at Thufi[34] (yang masih diperdebatkan tentang keahlisunnahannya) namun pendapat ini  telah menyalahi ijma' yang ada.

            Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, tentunya banyak terdapat kekurangan dan kekhilafan yang semua itu membutuhkan kritik dan saran, oleh karena itu tak ada akhir yang pantas selain permohonan maaf dan terima kasih.


Wallahu A'lamu bi al Showab.




DAFTAR PUSTAKA

Alqur'an al Karim

Shohih Bukhori; Shohih Muslim,

 Sunan Abi Dawud; Sunan Ibnu Majah

Al Mu'jam li at Thobroni; Musnad li Abi Ya'la.

 Dlowabit al Mashlahah

Ushul Fiqh Abdul Wahab Kholaf

Al Maqosid al Syar'iyyah al Islamiyyah

Al Mushtashfa

Qowaid Al Ahkam fi Masholih al Anam

Al Maqoshid al Ammah

Hasyiyah Al Bannany

Dzailu Thobaqot al Hanabilah

Al Wajiz.



[1]. Al. Saba' : 28

[2]. Shohih Bukhori wa Muslim

[3]. Maqosid al Ammah

[4]. Qowaid al Ahkam fi Masholih  al Anam

[5] . Al Mustashfa

[6].  Maqosid al Syar'iyyah al Islamiyyah 

[7]. Hasyiyah al Bannany

[8]. Dlowabith al Maslahah

[9]. Al Anbiya' :107

[10]. Al Jatsiyyah  :20

[11]. Dlowabith al Maslahah

[12]. Sunan an Nas'I, Abu Dawud, Ibnu Majah

[13]. Al Mu'jam li At Thobaroni, Musnad Abu Ya'la

[14]. Dlowabith al Maslahah

[15]. Ibid  

[16]. Dlowabith al Maslahah

[17]. Maqosid  al  Syar'iyyah al Islamiyyah

[18]. Ibid.

[19]. Ushul Fiqh Abdul Wahab Kholaf

[20]. Dlowabith al Maslahah

[21]. Maqosid  al  Syar'iyyah al Islamiyyah

[22]. Ibid

[23]. Al Mumtahinah : 12

[24]. Maqosid  al  Syar'iyyah al Islamiyyah

[25]. Abdul Wahab Kholaf, Wajiz, Maqosid  al  Syar'iyyah al Islamiyyah

[26]. Maqosid  al  Syar'iyyah al Islamiyyah

[27]. Ushul Fiqh Abdul Wahab Kholaf

[28]. Ibid

[29]. Ibid

[30]. Maqosid  al  Syar'iyyah al Islamiyyah

[31]. Maqosid  al  Syar'iyyah al Islamiyyah

[32]. Dlowabith al Mashlahah

[33] . Ibid

[34]. Imam at Thufi pada mulanya adalah penganut madzhab Hanbali, namun beliau tidak setia pada ushul dan furu' madzhabnya seperti pendapatnya dalam masalah mashlahah, dalam aqidahnyapun sebelumnya dia masih terbilang Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, namun juga, beliau tidak semuanya setuju dengan dasar-dasar aqidah Ahli as Sunnah, bahkan pendapatnya kadang berbalik condong pada Syi'ah dan kadang juga sampai keterlaluan dalam mendukung Syi'ah sehingga seide dengan Syi'ah Rofidloh. Imam Ibnu Rojab mengomentari dalam kitab Thobaqohnya "At Thufi adalah penganut Syi'ah yang berpaling dari Sunnah" (Ta'liqoot Dlowabith  al Mashlahah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar