Sabtu, 05 Maret 2011

AL-QURAN DAN HAK-HAK WANITA


AL-QURAN DAN HAK-HAK WANITA
Oleh:
AHMAD ZAKI MUBAROK
 dimuat dalam Majalah ATTAHLIYAH HIIMATI Edisi IV.

ABSTRAK

Kini berbagai tuduhan dilemparkan kepada umat Islam diantaranya ialah isu teroris dan pencabulan hak asasi manusia terutama kepada golongan wanita. Isu ini begitu hebat dilontarkan oleh musuh-musuh Islam. Islam sebenarnya adalah agama adil yang memperhatikan semua hak umatnya. Oleh itu tulisan ini akan mencoba menjelaskan tentang pandangan Islam yang sebenarnya terhadap hak-hak wanita seperti mana yang terkandung dalam al-Quran. Penulis akan mencoba menyenaraikan hak-hak tertentu golongan wanita berdasarkan kepada al-Quran, di samping penjelasan mengenai beberapa keraguan mengenai hak-hak wanita yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam. Dengan tulisan ini diharapkan dapat menjawap beberapa isu-isu negatif yang melanda umat Islam pada masa sekarang. Isu ini berkait rapat dengan keadilan Islam yang memerlukan penjelasan yang teratur dan lengkap bagi melangsungkan kewujudan umat Islam yang bukan saja dihormati tetapi juga mempunyai tahap keimanan yang tinggi.


PENDAHULUAN

Al-Quran merupakan mukjizat terbesar yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, di dalamnya mengandungi panduan yang lengkap untuk kehidupan umat Islam di dunia dan akhirat. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Maksudnya: Kami telah meninggalkan kepada kalian dua perkara yang tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu al-Quran dan Sunnah ku.(al-Muwata’ Malik Bab al-Nahi an al-Qul bi al-Qadar).

Oleh itu, al-Quran merupakan panduan dan rujukan utama umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia untuk menuju kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti, ia merupakan panduan yang komprehensif yang merangkumi semua aspek kehidupan baik dari segi aqidah, ibadat, munakahat, muamalat dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah (SWT):
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمْ الْإِسْلَامَ دِينًا
Maksudnya: Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu, dan Aku telah cukupkan nikmatKu kepada kamu, dan Aku telah redakan Islam itu menjadi ugama untuk kamu. (QS, al Maidah :3)

Al-Quran juga telah menjelaskan bahwa kesamaan taraf manusia di sisi Allah ialah berdasarkan kepada ketaqwaan, tidak ada perbedaan antara warna kulit, kasta dan kekayaan di sisi Allah, semuanya sama melainkan ketaqwaan kepada Allah saja. Lantaran itu Allah (SWT) berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Maksudnya: Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu). (QS al-Hujurat 13)

Wanita merupakan golongan yang tidak pernah dilupakan oleh al-Quran, golongan ini sangat dimuliakan oleh Islam, mereka tidak ada bedanya dengan golongan laki-laki melainkan dalam aspek ketakwaan kepada Allah saja. Dakwaan sesetengah pihak yang menyatakan bahwa golongan wanita ditindas di dalam Islam adalah tidak benar. Sebaliknya, Islam memuliakan wanita sebagaimana yang dapat dilihat secara jelas di dalam al-Quran banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang hak-hak mereka, begitu juga dengan hadis yang tidak kurang hebatnya dalam menekankan hak-hak wanita.

PERHATIAN AL-QURAN TERHADAP HAK-HAK WANITA

Al-Quran sangat mengambil berat tentang golongan wanita terutamanya dalam membicarakan tentang hak-hak mereka. Terdapat banyak surah yang menjelaskan berkenaan hukum-hukum berkaitan dengan wanita, bahkan terdapat satu surah di dalam al-Quran yang di namakan sebagai surah al-Nisaa’ yang bermaksud wanita. Tidak kurang juga dengan beberapa surah yang lain yang banyak membicarakan tentang wanita seperti surah al-Talaq, al-Mujadalah, al-Mumtahanah dan lainnya.

Ini menunjukkan bahwa golongan wanita mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam, kedudukan ini tidak diperolehi oleh mereka dalam syariat selain Islam. perhatian al-Quran ini dapat dilihat dengan jelas di dalam ayat-ayat yang membicarakan tentang persamaan hak di antara golongan laki-laki dan perempuan, seperti firman Allah (SWT):-

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Maksudnya: Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu). (QS. Hujurat: 13)

Ayat ini menunjukkan bahwa al-Quran tidak mengutamakan golongan laki-laki daripada golongan wanita dari sudut kejadian, akan tetapi kelebihan itu adalah dari sudut usaha yang dilakukan oleh seseorang sama ada laki-laki maupun perempuan. Usaha-usaha ini, yaitu mendekatkan diri kepada Allah adalah penentu kepada kelebihan dan kemuliaan di sisi Allah (SWT). (al Makhzanji, 2004)

Perkara ini dikuatkan oleh Hadis Rasulullah (SAW):-
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: جاء رجل إِلَى رَسُول الله - صلى الله عليه وسلم -، فَقَالَ: يَا رَسُول الله ، مَنْ أحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : (( أُمُّكَ )) قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : (( أُمُّكَ )) ، قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : (( أُمُّكَ )) ، قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : (( أبُوكَ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
Maksudnya: Daripada Aby Hurairah (RA) berkata: Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah (SAW) dan berkata: Siapakah yang paling berhak untuk aku dampingi? Jawab Rasulullah (SAW): Ibumu. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, selepas itu siapa? Jawab Rasulullah: Ibumu. Laki-laki itu bertanya lagi, selepas itu siapa pula? Jawab Rasulullah: Ibumu. Laki-laki itu bertanya lagi, selepas itu siapa pula? Jawab Rasulullah: Bapakmu). (Al-Bukhari, 1987, Bab Ahaq al-nas bihusni al-suhbah)
                               
Syeikh al-Azhar yaitu Syeikh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq ketika mengulas tentang hadis ini menerangkan bahwa: “Dikhususkan golongan ibu di dalam hadis tersebut kerana sifat perhatian mereka yang merupakan fitrah semulajadi bagi seorang ibu, ia merupakan karunia Allah kepada mereka kaum ibu. Sifat kasih sayang yang tersemat dalam hati mereka merupakan satu karuniaan Allah untuk anak-anak, di samping kesusahan semasa mengandung, melahirkan dan menyusuhi anak-anak serta ketekunan mereka dalam mendidik sehingga sanggup berjaga, bangun malam demi memastikan anak-anak mereka dalam keadaan baik dan selamat seterusnya memberikan kehidupan yang lebih baik kepada mereka”. (Jad al-Haq, 1995)

Setiap hak yang dikaruniakan Allah kepada golongan laki-laki juga merupakan hak yang dikaruniakan kepada golongan wanita.

Al-Quran juga menjelaskan bahwa wanita mempunyai hak dalam akad dan pemilikan seperti jual beli, gadaian, hibah, wasiat dan sebagainya. Sebagaimana wanita yang telah berkawin mempunyai hak yang menyeluruh terhadap hartanya dan ia bebas dari pemilikan suaminya. Suami sama sekali tidak boleh mengambil hak isteri tanpa kebenarannya, sebagaiman Firman Allah (SWT):-

وَإِنْ أَرَدْتُمْ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Maksudnya: Dan jika kamu hendak mengambil isteri (baharu) menggantikan isteri (lama yang kamu ceraikan) sedang kamu telahpun memberikan kepada seseorang di antaranya (isteri yang diceraikan itu) harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil sedikitpun dari harta itu. Patutkah kamu mengambilnya dengan cara yang tidak benar dan (yang menyebabkan) dosa yang nyata?(QS, Al-Nisaa: 20)

Ini merupakan persamaan antara golongan wanita dan laki-laki yang telah ditetapkan oleh al-Quran, oleh itu golongan wanita memperolehi apa yang diperolehi oleh golongan laki-laki. Tanpa keadilan ini sebuah masyarakat akan kucar kacir lebih-lebih lagi jika masyarakat itu meyakini tentang peluang persamaan itu merupakan jalan untuk mewujudkan kekuatan sebuah ummah (al-Aqqad, tt.)

Firman Allah (SWT):-

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Maksudnya: Dan isteri-isteri itu mempunyai hak yang sama seperti kewajipan yang ditanggung oleh mereka (terhadap suami) dengan cara yang sepatutnya (dan tidak dilarang oleh syarak) dalam pada itu orang-orang laki-laki (suami-suami itu) mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan (isterinya). Dan (ingatlah), Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana..(QS, Al-Baqarah: 228)

Ayat ini jelas menunjukan bahwa perkawinan dalam Islam bukan aqad pemilikan atau perhambaan tetapi ianya merupakan aqad yang mewajibkan hak bersama di antara satu sama lain, yaitu hak yang sama rata antara suami dan isteri berdasarkan kepada kepentingan bersama. Terdapat tiga hukum penting yang terkandung dalam ayat ini yaitu:

1)      Suami dan isteri mempunyai hak masing-masing di antara satu sama lain.
2)      Suami dan isteri perlu menyadari hak masing-masing dan mereka perlu menangani setiap kelemahan yang dihadapi dengan sebaik mungkin.
3)      Kelebihan golongan suami ke atas golongan isteri ialah pada kekuatan fizikal dan kepimpinan serta bertanggungjawab memudahkan urusan keluarga, (Al Zuhaili, 1998)

Sebagaimana firman Allah (SWT):-

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Maksudnya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang laki-laki (dengan beberapa keistimewaan) atas orang-orang perempuan, dan juga kerana orang-orang laki-laki telah membelanjakan (memberi nafkah) sebahagian dari harta mereka. (QS, Al Nisaa’: 34)

Golongan wanita juga mempunyai hak bay’ah (janji taat setia) seperti laki-laki, ini bermakna setiap wanita mempunyai kelayakan penuh untuk menunaikan segala perjanjian yang dianggap sebagai perkara yang paling penting dalam Islam, (Abd Al Wahhab, 1998)

Firman Allah (SWT):-

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Maksudnya: Wahai Nabi! Apabila orang-orang perempuan yang beriman datang kepadamu untuk memberi pengakuan taat setia, bahwa mereka tidak akan melakukan syirik kepada Allah dengan sesuatu pun, dan mereka tidak akan mencuri, dan mereka tidak akan berzina, dan mereka tidak akan membunuh anak-anaknya, dan mereka tidak akan melakukan sesuatu perkara dusta yang mereka ada-adakan dari kemahuan hati mereka, dan mereka tidak akan menderhaka kepadamu dalam sesuatu perkara yang baik, - maka terimalah pengakuan taat setia mereka dan pohonkanlah kepada Allah mengampuni dosa mereka; sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (QS, al Mumtahanah:12)

Islam juga memberikan hak untuk berfikir dan menyuarakan pandangan kepada golongan wanita. Ia dapat dilihat dalam kisah yang berlaku kepada Khaulah binti Tha’labah (isteri kepada Aus bin al-Somit) yang merupakan lambang kepada ketinggian pemikiran wanita, kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Penghormatan Islam terhadap perkara ini dapat dilihat dengan jelas  apabila Allah SWT menjadikan pengaduannya sebagai Syariat bagi hukum Zihar seperti mana yang terkandung dalam surah al-Mujadalah (Al Tobari, 1985) :-

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Maksudnya: Sesungguhnya Allah telah mendengar (dan memperkenan) aduan perempuan yang bersoal jawab denganmu (wahai Muhammad) mengenai suaminya, sambil ia berdoa merayu kepada Allah (mengenai perkara yang menyusahkannya), sedang Allah sedia mendengar perbincangan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, lagi Maha Melihat.(QS Al Mujadalah: 1)

Ini merupakan kebebasan yang diberikan oleh Allah kepada golongan wanita yang tidak kurang daripada karuniaanNya kepada golongan laki-laki, tidak ada seorangpun yang boleh merampas dan mencabuli hak ini kerana perbuatan sedemikian merupakan penghinaan kepada kemuliaan manusia serta satu kezaliman yang besar. Oleh  itu, Islam telah menetapkan supaya tidak ada pencabulan ke atas hak orang lain baik laki-laki ataupun perempuan. Ini adalah kerana pencabulan hak tersebut merupakan kezaliman dan zalim itu telah diharamkan di dalam  Syariat Islam (Zaydan, 1997).



Sebagaimana firman Allah (SWT):-

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Maksudnya: Dan perangilah kerana (menegakkan dan mempertahankan) agama Allah akan orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah kamu menceroboh (dengan memulakan peperangan); kerana sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang menceroboh. (QS, al-Baqarah: 190)

Al-Quran juga memberi penekanan dalam aspek tanggungjawab dan balasan kepada golongan wanita. Ia adalah sama dengan golongan laki-laki, justeru tidak kira sama ada laki-laki atau perempuan semuanya mempunyai tanggungjawab melakukan segala suruhan dan meninggalkan segala larangan Allah kecuali hukum-hukum tertentu yang hanya melibatkan golongan laki-laki atau perempuan saja seperti had menutup aurat, hukum semasa haid dan sembahyang jumaat.

Al-Quran juga telah menetapkan bahwa wanita mempunyai tanggungjawab tersendiri seperti laki-laki, ia mempunyai tanggungjawab untuk dirinya dalam ibadah, muamalat, keluarga dan ummah. Tanggungjawab tersebut tidak kurang hebatnya daripada tanggungjawab laki-laki. Sebagaimana firman Allah (SWT):-

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنْ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
Maksudnya: Dan sesiapa yang mengerjakan amal soleh, dari laki-laki atau perempuan, sedang ia beriman, maka mereka itu akan masuk Syurga, dan mereka pula tidak akan dianiaya (atau dikurangkan balasannya) sedikitpun. (QS, Al Nisaa’: 124)

Firman Allah lagi:-
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
Maksudnya: Maka Tuhan mereka perkenankan doa mereka (dengan firmanNya): "Sesungguhnya Aku tidak akan sia-siakan amal orang-orang yang beramal dari kalangan kamu, sama ada laki-laki atau perempuan, (kerana) setengah kamu (adalah keturunan) dari setengahnya yang lain. (QS, Aly Imran: 195).

Firman Allah lagi:-
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Maksudnya: Sesiapa yang beramal soleh, dari laki-laki atau perempuan, sedang ia beriman, maka sesungguhnya Kami akan menghidupkan dia dengan kehidupan yang baik; dan sesungguhnya kami akan membalas mereka, dengan memberikan pahala yang lebih dari apa yang mereka telah kerjakan.( QS, Al Nahl: 97)

Ini merupakan janji Allah kepada sesiapa saja yang beramal soleh, sama ada laki-laki atau perempuan. Mereka berhak mendapat kehidupan yang baik di dunia dan akan mendapat balasan yang setimpa di akhirat kerana kebaikan yang dilakukan di dunia. (Ibnu Kathir, 1996).

Seterusnya Allah memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai keadilan hak-hak wanita dalam peraturan Islam dari aspek tanggungjawab dan balasan, sebagaimana firmanNya:-

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Maksudnya: Sesungguhnya orang-orang laki-laki yang Islam serta orang-orang perempuan yang Islam, dan orang-orang laki-laki yang beriman serta orang-orang perempuan yang beriman, dan orang-orang laki-laki yang taat serta orang-orang perempuan yang taat, dan orang-orang laki-laki yang benar serta orang-orang perempuan yang benar, dan orang-orang laki-laki yang sabar serta orang-orang perempuan yang sabar, dan orang-orang laki-laki yang merendah diri (kepada Allah) serta orang-orang perempuan yang merendah diri (kepada Allah), dan orang-orang laki-laki yang bersedekah serta orang-orang perempuan yang bersedekah, dan orang-orang laki-laki yang berpuasa serta orang-orang perempuan yang berpuasa, dan orang-orang laki-laki yang memelihara kehormatannya serta orang-orang perempuan yang memelihara kehormatannya, dan orang-orang laki-laki yang menyebut nama Allah banyak-banyak serta orang-orang perempuan yang menyebut nama Allah banyak-banyak, Allah telah menyediakan bagi mereka semuanya keampunan dan pahala yang besar. (QS, Al Ahzab: 35)

Keadilan hak ini juga dijelaskan oleh Al-Quran dalam konteks hukum hudud, firman Allah (SWT):-
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Maksudnya: Dan orang laki-laki yang mencuri dan orang perempuan yang mencuri maka (hukumnya) potonglah tangan mereka sebagai satu balasan dengan sebab apa yang mereka telah usahakan, (juga sebagai) suatu hukuman pencegah dari Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.( QS, Al Maidah: 38)

Firman Allah (SWT) lagi:-

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ
Maksudnya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali sebat; dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum ugama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat; dan hendaklah disaksikan hukuman seksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (QS, Al Nuur: 2)

Daripada ayat-ayat yang telah dikemukakan, jelaslah bahwa Islam menerusi al-Quran sangat memuliakan wanita, hak-hak mereka dipelihara dan tanggungjawab mereka dituntut. Islam juga meletakan keadilan dalam persamaan di antara laki-laki dan wanita kerana mereka merupakan sebahagian daripada masyarakat dan juga sebagai pelengkap antara satu sama lain untuk kekuatan ummah. (Al-Qaradawi, 2003)

BEBERAPA KERAGUAN (الشبهات) YANG DITIMBULKAN MENGENAI HAK-HAK WANITA DALAM AL-QURAN

Banyak pihak telah membicarakan tentang hak-hak wanita dan kebebasan mereka termasuk golongan orientalis yang senantiasa berusaha untuk memberikan gambaran negatif terhadap hak-hak wanita dalam Islam. Ia seolah-olah ingin menunjukkan bahwa hak golongan wanita dalam Islam telah dirampas dan dicabuli.

Mereka berpandangan bahwa Islam telah membedakan antara hak golongan laki-laki dan wanita, dan ini dijadikan alasan untuk mengkaji ulang terhadap agama Islam supaya ia dapat memenuhi kehendak mereka seiring dengan mana-mana perjanjian internasional mengenai hak-hak wanita. Mereka juga berusaha untuk mengubah maksud nas-nas syarak yang telah tetap supaya serasi dengan perjanjian-perjanjian tersebut. (Qatarji, tt.)

Apa yang perlu ditekankan di sini ialah mengenai beberapa keraguan tentang hak-hak wanita yang ditimbulkan oleh pihak-pihak tertentu yang memusuhi Islam dengan matlamat memburukkan agama Islam. Keraguan-keraguan tersebut sudah pasti dapat disanggah dan disangkal oleh Islam dengan menggunakan al-Quran itu sendiri. Di antara keragu-raguan tersebut adalah seperti berikut:

1) Mendidik isteri dengan memukul

Sesetengah pihak berusaha untuk menghapuskan istilah memukul dalam mendidik isteri seperti yang disebut dalam al-Quran tanpa meneliti apakah maksud yang tersirat di sebalik istilah “الضرب” atau pukul itu. Sememangnya al-Quran menjelaskan kepada kita mengenai pukul ini yang merupakan salah satu kaedah dalam mendidik isteri, tetapi harus diingat bahwa apa yang dimaksudkan dengan pukulan itu ialah satu alternatif dalam mendidik isteri sekiranya kaedah nasihat dan meninggal tempat tidur gagal memberikan kesan. Firman Allah (SWT):-

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Maksudnya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang laki-laki (dengan beberapa keistimewaan) atas orang-orang perempuan, dan juga kerana orang-orang laki-laki telah membelanjakan (memberi nafkah) sebahagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang soleh itu ialah yang taat (kepada Allah dan suaminya), dan yang memelihara (kehormatan dirinya dan apa jua yang wajib dipelihara) ketika suami tidak hadir bersama, dengan pemuliharaan Allah dan pertolonganNya. Dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan derhaka (nusyuz) hendaklah kamu menasihati mereka, dan (jika mereka berdegil) pulaukanlah mereka di tempat tidur, dan (kalau juga mereka masih degil) pukullah mereka (dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya). Kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar. (QS. al-Nisaa’: 34)

Pukulan yang dimaksudkan dalam ayat ini bukanlah bermatlamat untuk menyakiti atau mendera, tetapi ianya adalah bertujuan untuk mendidik, memperbaiki dan mengobati kerusakan yang berlaku pada isteri. Pukulan ini hanya dikenakan terhadap isteri-isteri yang melakukan nusyuz saja dan selepas para suami gagal memberikan nasihat dan meninggalkan tempat tidur. Oleh itu, pukul merupakan alternatif untuk menghalang daripada berlakunya perceraian, terutamanya kebanyakkan wanita yang melakukan nusyuz ini tidak sadar tentang akibat perbuatan tersebut yang menjadikan timbulnya perceraian dan kemusnahan rumah tangga. (Qatarji, TT)
                                                           
Di samping itu, pukulan yang dimaksudkan dalam ayat tadi ialah pukulan “غير مبرح” yaitu pukulan yang tidak kuat dan tidak menyakiti, pukulan itu juga perlu dilakukan dengan benda-benda yang ringan seperti kayu siwak atau seumpamanya. (Ibnu Kathir, 1996).

2) Penguasaan suami terhadap isteri

Keraguan ini ditimbulkan oleh musuh Islam dengan menyatakan bahwa maksud “القوامة” dalam firman Allah SWT dalam surah al-Nisaa’ ayat 34 adalah penguasaan secara keras dan zalim, sedangkan maksud sebenar penguasaan ini adalah kepimpinan yang berteraskan kasih sayang, hormat menghormati dan perihatin dalam melindunginya daripada ketakutan dan kelaparan. Kekuatan ini berasaskan kepada faktor kejadian laki-laki itu sendiri sebagai orang yang bertanggungjawab mencari nafkah untuk isteri dan keluarga (Qatarji, tt.).


Sebagaimana firman Allah SWT:-
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Maksudnya: Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anak mereka selama dua tahun genap yaitu bagi orang yang hendak menyempurnakan penyusuan itu; dan kewajipan bapa pula ialah memberi makan dan pakaian kepada ibu itu menurut cara yang sepatutnya. (QS, Al-Baqarah:233)

Berdasarkan kepada ayat ini dan ayat yang disebutkan tadi mengenai kekuatan suami melebihi kekuatan isteri maka para ulama bersepakat tentang kewajipan suami memberi nafkah kepada isteri. (Al-Khin, 1996)

3) Poligami

Sesetengah daripada pejuang hak asasi wanita begitu rakus memperjuangkan hak mereka sehingga sanggup menafikan apa yang terkandung dalam al-Quran seperti sistem poligami yang dibolehkan dalam Islam, mereka mendakwa poligami merupakan satu sistem yang menjatuhkan kemuliaan wanita dan mencabuli taraf kesamarataan antara laki-laki dan wanita.(Qatarji, tt.). Sedangkan dalam Islam, hukum asal poligami adalah diperbolehkan berdasarkan firman Allah SWT:-

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Maksudnya: Dan jika kamu takut tidak berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (apabila kamu berkahwin dengan mereka), maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu bimbang tidak akan berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu) maka (berkahwinlah dengan) seorang saja.(QS, al-Nisaa’: 3)

Berdasarkan kepada ayat ini, pembolehan tersebut bukanlah secara mutlak, kemungkinan hukum poligami itu menjadi sunat, makruh atau haram bergantung kepada keadaan seseorang yang ingin melakukan poligami tersebut. Di samping itu, sistem ini juga mempunyai hikmah yang tersirat di sebalik pembolehannya, contohnya jika seseorang laki-laki mempunyai isteri yang tidak ingin mendampinginya sama ada kerana sifat nalurinya atau disebabkan penyakit. Adakah laki-laki ini perlu berzina untuk memenuhi keperluan batinnya. Oleh itu, penyelasaian yang paling sesuai ialah dengan menggunakan kaedah yang ketiga yaitu poligami yang akan memberikan kebaikan kepada semua pihak. (Al-Khin, 1996).

Walaubagaimanapun, pihak barat yang senantiasa prejudis tentang perkara ini berusaha untuk menghapuskan sistem poligami dengan menggunakan pelbagai alasan seperti yang dikemukakan tadi, tetapi malangnya masyarakat barat yang menentang sistem poligami inilah sebenarnya yang mencabuli kemuliaan dan hak-hak golongan wanita, lihat saja bagaimana kajian yang dibuat di barat menunjukkan bahwa 70% daripada golongan laki-laki melakukan pengkhianatan (perselingkuhan) ke atas isteri di sana, Kirk Douglas seorang bintang film terkenal dengan begitu bangga mengaku di hadapan khalayak bahwa beliau mempunyai seribu orang perempuan simpanan, manakala seorang ahli politik Perancis George Karamasu mengaku mempunyai 600 perempuan simpanan. Sesungguhnya Islam ketika mensyariatkan poligami tidak melupakan sifat semulajadi (naluri) laki-laki dan tidak lupa dengan keadaan wanita yang memerlukan pelindung dan orang yang bertanggungjawab menguruskan diri dan anak-anaknya. (Nasif, 2000)

4) Pewarisan harta.

Tuntutan persamaan dalam mewarisi harta pusaka antara laki-laki dan perempuan bukanlah satu perkara yang aneh, bahkan usaha ini telah bermula sejak turunnya wahyu. Perkara ini dijelaskan dalam salah satu riwayat bagi sebab turunnya ayat 32 surah al-Nisaa’ yaitu firman Allah (SWT):-

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Maksudnya: Dan janganlah kamu terlalu mengharapkan (ingin mendapat) limpah kurnia yang Allah telah berikan kepada sebahagian dari kamu (untuk menjadikan mereka) melebihi sebahagian yang lain (tentang harta benda, ilmu pengetahuan atau pangkat kebesaran). (Kerana telah tetap) orang-orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan orang-orang perempuan pula ada bahagian dari apa yang mereka usahakan; (maka berusahalah kamu) dan pohonkanlah kepada Allah akan limpah kurnianya. Sesungguhnya Allah senantiasa Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.(QS, al-Nisaa’:32)

Riwayat tersebut ialah:-
قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَغْزُو الرِّجَالُ وَلاَ نَغْزُو وَلَنَا نِصْفُ الْمِيرَاثِ
Maksudnya: Ummu salamah bertanya kepada Rasulullah (SAW): Wahai Rasulullah ! Golongan laki-laki berperang dan kami tidak berperang, dan bagi kami separuh dari apa yang mereka warisi. (Ibnu Kathir, 1996)

Mungkin sesetengah pihak melihat bahwa pembahagian ini tidak adil, tetapi apa yang jelas kepada kita bahwa Islam telah mempertanggungjawabkan kepada golongan laki-laki untuk memberi nafkah kepada isteri dan anak-anak, sedangkan golongan wanita dapat mengecapi sepenuhnya harta yang diwarisi tanpa sebarang tanggungjawab. Bahkan harta yang diwarisi oleh laki-laki akan semakin berkurangan berbanding wanita yang semakin bertambah dengan maskahwin, hadiah dan sebagainya.






5) Penyaksian

Beberapa pihak yang menginginkan persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan senantiasa berusaha untuk memberikan hak sepenuhnya kepada wanita dalam perkara ini, mereka melihat bahwa Islam menjadi penghalang persamaan taraf dalam penyaksian dan menganggap ini merupakan sebagian daripada pencabulan hak yang dilakukan oleh Islam. Untuk menjawap isu ini, sebenarnya penyaksian dalam Islam bukanlah atas asas perbedaan secara mutlak antara laki-laki dan wanita, bahkan ianya berbeda berdasarkan kepada keadaan sesuatu perkara yang disaksikan:

1-      Penyaksian untuk hukuman qisas dan hudud: Sama sekali tidak diterima penyaksian wanita kerana perkara ini akan membangkitkan perasaan simpati mereka secara naluri dan mereka juga tidak mampu menanggungnya, seperti mana yang ditetapkan oleh jumhur ulama, melainkan kejadian yang berlaku dalam masyarakat yang melibatkan wanita saja. (Al-Qaradawi, 1996)
2-      Penyaksian dalam jual beli dan hutang: Dalam penyaksian ini dituntut dua orang saksi laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan sebagaimana firman Allah (SWT):-

وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنْ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
Maksudnya: Dan hendaklah kamu mengadakan dua orang saksi laki-laki dari kalangan kamu. Kemudian kalau tidak ada saksi dua orang laki-laki, maka bolehlah, seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari orang-orang yang kamu setujui menjadi saksi, supaya jika yang seorang lupa dari saksi-saksi perempuan yang berdua itu maka dapat diingatkan oleh yang seorang lagi. (QS Al-Baqarah: 282)

Perbedaan ini bukanlah bermatlamat untuk menjatuhkan kemuliaan dan hak wanita, tetapi karena sifat naluri wanita itu sendiri yang tidak begitu memberi penekanan kepada  urusan keuangan, urusan mereka kebanyakannya tertumpu kepada hal ehwal rumah tangga dan keluarga. Oleh itu, tumpuan mereka dalam perkara ini agak lemah berbanding dengan laki-laki, justeru Allah telah memerintahkan supaya penyaksian dalam urusan hutang ini hendaklah dilakukan oleh dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. (Al-Qaradawi, 1996)

3-      Penyaksian Li’an: Dalam penyaksian ini Islam telah memberikan hak yang sama antara laki-laki dan wanita, sebagaiman firman Allah:-

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنْ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنْ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنْ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنْ الصَّادِقِينَ
Maksudnya: Dan orang-orang yang menuduh isterinya berzina, sedang mereka tidak ada saksi-saksi (yang mengesahkan tuduhannya itu) hanya dirinya sendiri, maka persaksian (sah pada syarak) bagi seseorang yang menuduh itu hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah, empat kali, bahwa sesungguhnya ia dari orang-orang yang benar; -Dan sumpah yang kelima (hendaklah ia berkata): Bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya jika ia dari orang-orang yang dusta. Dan bagi menghindarkan hukuman seksa dari isteri (yang kena tuduh) itu hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah, empat kali, bahwa suaminya (yang menuduh) itu sesungguhnya adalah dari orang-orang yang berdusta; -Dan sumpah yang kelima (hendaklah ia berkata); Bahwa kemurkaan Allah akan menimpa dirinya jika suaminya dari orang-orang yang benar. (QS, al- Nuur: 6-9)

4-      Penyaksian dalam kelahiran, penetapan keturunan dan penyusuan: Penyaksian ini hanya dimiliki oleh wanita seperti mana yang diriwayatkan daripada Rasulullah (SAW):-

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً فَجَاءَتْ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ أَرْضَعْتُكُمَا فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَكَيْفَ وَقَدْ قِيلَ دَعْهَا عَنْكَ
Maksudnya: Daripada Uqbah bin Harith diriwayatkan bahwa beliau berkahwin dengan Umm Yahya binti Ihab. Maka datanglah seorang wanita dan berkata: Aku telah menyusukan kamu berdua. Maka Uqbah bertanyakan Rasulullah tentang pengakuan itu. Rasulullah menjawab: Tinggalkan dia (Umm Yahya)-ceraikannya-. (Al-Bukhari, 1987, Bab Syahadah al-Murdi’ah # 2517)

Daripada penjelasan diatas, terbukti bahwa penyaksian yang memerlukan dua orang perempuan dengan seorang laki-laki hanyalah dikhususkan pada bab hutang saja, dan ini menafikan wujudnya perbedaan hak antara laki-laki dan wanita, justeru ianya sedikitpun tidak mencabuli hak dan kemuliaan wanita.

PENUTUP

Wanita merupakan ciptaan Allah yang amat indah dan mempunyai hak yang sama seperti laki-laki sepertimana yang terkandung di dalam al-Quran al-Karim. Setiap hak yang dikurniakan Allah kepada golongan laki-laki juga merupakan hak untuk golongan wanita. Oleh itu, wanita mempunyai hak untuk belajar, mencari rezeki, menyuarakan pendapat, memiliki sesuatu dengan bebas dan sebagainya.  Tidak ada sebarang pencabulan hak ke atas golongan wanita  sebagaimana yang didakwa oleh sesetengah pihak yang membenci Islam. Islam senantiasa memperjuangkan hak-hak wanita dari berbagai aspek, rohani dan jasmani bagi memastikan masyarakat terpelihara dan kukuh.

Musuh-musuh Islam senantiasa berusaha untuk mencemarkan nama baik Islam dengan menimbulkan pelbagai keraguaan berkaitan dengan hak-hak wanita, kononnya Islam tidak mementingkan golongan wanita dalam kewujudan sebuah masyarakat, tetapi perkara ini dapat disangkal dengan mudah, hanya bersandarkan kepada hikmah disebalik sesuatu perkara yang ditetapkan Allah. Setiap ketetapan Allah itu ada hikmatnya tersendiri dan Allah amat mengetahui tentang perihal hambaNya.



RUJUKAN

Al-Quran al-Karim

Abdul Wahhab, Liwa’ Ahmad. 1998. Makanat al Mar’ah fi al Yahudiyyah wa al Masihiyyah wa Al-Islam. Al-Qaherah: al-Majlis al ‘Ala li Al Syu’un al Islamiyyah.

Al-Aqqad, Abbas. TT. Al-Mar’ah fi Al-Quran. al-Qaherah: Dar Nahdah Masr.

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. 1987. Sahih al Bukhari. Beirut: Dar Ibn Kathir.

Ibn Kathir, Abu al-Fida’ Ismail. 1996. Tafsir Al-Quran Al Azim. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Jad al-Haq, Ali Jad al-Haq. 1995. Haula Ittifaqiyyah al Qada’ ala Asykal al tamyiiz did al Mar’ah min al manzur al islamiy. Majallah al-Azhar.

Al-Khin, Mustafa. Wa Aakharun. 1996. Al-Fiqh al-Manhaji. Dimasyq: Dar al-Qalam.

Al-Makhzanji, Ahmad. 2004. Huquq al Mar’ah fi al musaawah wa al mirath.

http://www.amanjordan.org/aman_studies/wmprint.php? ArtID=574

Nasif, Fatimah. 2000. Huquq Al Mar’ah fi Al-Islam.

http://www.arabiyat.com/nov2000/sosial4.html

Al-Qanuji, Siddiq Hasan. 1978. Abjad Al Ulum. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah.

Al-Qaradawi, Yusuf. 1996. Markaz al Mar’ah fi al Hayah al Islamiyyah. al-Qaherah: Maktabah Wahbah.

Qatarji, Nuha. TT. Syubuhat Haula Huquq al Mar’ah fi Al-Islam.

http://saaid.net/daeyat.nohakaterji/57.htm

Al Tabari, Muhammad bin Jarir. 1985. Tafsir al-Tabari. Beirut: Dar al-Fikr.

Zaidan, Abdul Karim. 1997. Al-Mufassal fi Ahkam al-Mar’ah wa al Bait al-Muslim. Beirut: Mu’assasah al-Risalah.

Al-Zuhaili, Wahbah. 1998. Al Tafsir Al Munir. Beirut: Dar al-Fikr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar