Senin, 28 Juni 2010

HAKIKAT MASLAHAH

HAKIKAT MASLAHAH
oleh: Tim LNI 
Maslahah:
Secara etimologi maslahah adalah masdar yang bermakna as-shalah yang berarti kebaikan/ kelurusan
Adapun maslahah secara terminology syari’at adalah manfa’at yang dipelihara oleh Syara’ untuk hambanya demi menjaga kestabilitasan Agama, jiwa, kehormatan, harta dan keluarga.
Sedangkan pengertian manfa’at sendiri adalah kenikmatan atau sesuatu yang menjadi perantara untuk menuju kenikmatan dan pencegahan kemadlaratan atau sesuatu yang menjadi perantara.
          Secara fitrah Islam adalah agama yang memelihara manfa’at dan menjadikannya sebagai dasar dari apa yang telah diberikan kepada hambanya dari akhlaq dan kemulyaan dan agar kesempurnaan manfa’at ini menjadi modifikator atas apa yang telah disyari’atkan Allah kepada hambanya dan beberapa hukum.
          Sebagaimana para Ulama sepakat bahwa setiap perkara yang menjadi perantara dari sebuah manfa’t mendapat yuridisasi sebagaimana manfa’at itu sendiri yang diharuskan manfa’at tersebut tidak membawa dampak negative yang setara dengan manfa’at itu sendiri, sebagaimana mereka sepakat bahwasanya kalau suatu manfa’at membawa dampak negative maka manfa’at tersebut dihukumi sebagaimana dampak negative tersebut, meskipun secara subtansif adalah subtansi manfa’at dan faidah.
I.    Maslahah menurut prespektif Islam
          Kajian tentang maslahah tidak lepas dari pendapat dari dua kubu yaitu kubu filosofis dengan kubu Ulama secara garis besar Khashaish Al Mashlahah menurut filosofis dapat kami simpulkan terkategori menjadi tiga khashaish :
  1. Literatur masa yang mereka jadikan referensi dan analog mashlahah dan mafsadah adalah merupakan literature yang sempit dan hanya terbatas dengan umur Dunia saja dalam arti tidak sampai berimbas pada mashalih dan mafasid ukhrawi karena mereka tidak memandang jauh aspek sisi luar apa yang ada setelah kehidupan di Dunia ini  sehingga menjadikan meraka hanya menggantungkan cita-cita mereka pada sesuatu berhubungan pada Dunia atau yang menjadi washilah untuk menggapai Dunia sehingga literature mereka di dalam menghukumi jelek atau baiknya perkara berada dalam kerancuan dan kebimbangan sesuai dengan kecenderungan dan kesenangan mereka sendiri-sendiri.
  2. Mashlahah menurut mereka hanyalah diukur dengan kesenangan dan materi saja baik hal tersebut berkonsekwensikan menjadi hak-hak pribadi maupun social dan tidak pelak lagi kalau mashlahah menurut pendapat orang kapitalis terbagi menjadi tiga yaitu :insiyyah, maknawiyyah dan jismiyyah. Dan semua kembali pada satu tujuan yaitu: apa-apa yang layak dinamakan; kenikmatan materi
  3. Agama menurut mereka adalah cabang dari suatu mashlahah dalam arti Agama hanya dijadikan sebagai alat bantu di dalam melegalisir sebuah mashlahah yang mu’tabar menurut mereka.
Maka tidak diragukan lagi kalau hal semacam ini merupakan hal yang lazim bagi orang yang menjadikan manfa’at duniawi sebagai tujuan pokok dan merupakan segala-galanya.
          Khoshoish Mashlahah menurut Ulama Syari’at juga terbagi menjadi tiga khoshois
1. Bahwasanya sesungguhnya zaman yang berdampakkan mashlahah juga mafsadah tidaklah terbatas hanya pada kemanfa’atan duniawi saja tetapi juga termodifikasi untuk manfa’at Dunia maupun Akhirat. Karena yang dinamakan mashlahah adalah suatu manfa’at atau suatu washilah mashlahah maka setiap amal yang membuahkan manfa’at adalah dianggap amal yang baik dan akan berbeda sesuai dengan seberapa jauh hasil yang ditimbulkan oleh amal tersebut. Terkadang amal akan mendapat hasil hanya selang waktu yang pendek. Semisal; amal mencari rizki/ nafkah terkadang juga selang waktu yang sedikit panjang semisal menanam untuk memetik hasilnya, maka setiap amal yang menurut persangkaan kuat si pelaku pada masa yang akan datang akan menghasilkan suatu manfa’at baik lama maupun sebentar maka amal tersebut dihukumi sebagai mashlahah. Sehingga daripada itu hikmahnya Allah menghendaki adanya hubungan erat antara Dunia dan Akhirat yakni hubungan sebab dan akibat karena Allah memerintah hamba-Nya yang untuk menjadikan hidup di Dunia ini sebagai perantara bahagia di kehidupan Akhirat, sebagaimana dalam firman Allah:
 "وابتغ فيما آتاك الله الدار الآخرة" [القصص: 77]  
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebaghagiaan) Negeri Akhirat. 
dan firman Allah:
 "ومن أراد الآخرة وسعى لها سعيها وهو مؤمن فأولئك كان سعيهم مشكورا" [الإسراء: 19]
Artinya: Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan Akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin maka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. dan Allah menjelaskan cara bagaimana seseorang bisa mencapai kebahagiaan Akhirat dengan mengamalkan Syari’at secara utuh.
Pada khoshoish yang pertama ini membuahkan dua kesimpulan yaitu yang pertama:
1.    Bahwasanya ditetapkannya suatu hukum hamba itu kembali pada nilai dua dimensi (yaitu hak hamba dan hak Sang Maha Pencipta) meskipun pada kemashlahatan yang berkaitan dengan  mu’amalah maupun kehidupan duniawi seorang hamba sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Qorofi “tidak ada suatu hak hamba kecuali di situ ada hak Allah karena orang mukallaf (baligh, aqil) dituntut untuk menjalankan hak taklif dari Allah di dalam segala amal. Dan Langkahnya disekira tidak mugkin  kita gambarkan Allah tertuntut mewujudkan mashlahah untuk hamba-Nya tatkala Allah sebagai pencipta mereka.
2.    Bahwa sesungguhnya apa yang telah digradualkan oleh para Mubahitsin- di dalam membagi hukum-hukum Syari’at terbagi menjadi dua yaitu: Haqqullah dan Haqqul ibad . Haruskah kita arahkan pada majas/ taghlib karena pada hakikatnya semua hukum ditinjau dari aspek kepastian takluk/ tunduk hamba pada hukum dan adanya keterkaitan hukum akan imbalan pahala di Akhirat itu hanya berdiri pada satu dasar yakni Haqqullah di dalam mewajiban seorang hamba untuk berada pada satu pengakuan bahwa Allah adalah pemilik serta penciptanya.
II. Literature suatu Mashlahah Syar’iyyah tidak hanya diukur dengan kenikmatan materi tetapi mashlahah itu adalah suatu bentuk refleksi dari kebutuhan jism dan ruh pada Insan.
Bahwa sesungguhnya masalah Agama adalah merupakan dasar dari semua mashlahah dan harus diprioritaskan dari mashlahah yang lain sehingga wajib adanya pengorbanan mashlahah yang lainnya jika terjadi benturan antara mashlahah Agama dengan mashlahah lainnya demi menjaga kelestarian mashlahah Agama dan  khoshoish ini sangatlah bertolak belakang dengan pendapatnya para filosofis, mereka di samping tidak menegakkan neraca untuk perkara Akhirat dan Agama sesuai dengan sebagaimana mestinya, juga tersikam akan apa yang akan menjadi aqidah dan fitrah Agama orang awam untuk dipelajari demi memaksakan pemikiran mereka dan apa-apa yang membuat mereka kagum akan manfa’at duniawi.  Dari uraian di atas bisa kami simpulkan bahwa Syari’at Islamiyyah telah mencakup secara kompleks akan kemashlahatan hamba di segala aspek karena pada dasarnya menggapai ridlo Allah dan kekal di Surga adalah merupakan agung-agungnya mashlahah di kehidupan manusia secara mutlak dengan beberapa bukti indicator yang diantaranya:
1.    Hukum Allah menjadikan kehidupan manusia di Dunia ini adalah merupakan landasan untuk menggapai kebahagiaan di Akhirat
2.    Mashlahah-mashlahah dlorury hanyalah berputar pada konserfasi lima perkara yaitu Agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang dimana Syari’at mewajibkan pemeliharaan setiap martabat dari martabat  lima ini hingga mewajibkan adanya pengorbanan pada kemashlahatan lainnya. Maka wajib menjaga kemashlahatan Agama di atas kemashlahatan jiwa sehingga Agama mensyari’atkan jihad meskipun akan berakibat hilannya jiwa dan wajib menjaga kemashlahatan jiwa  di atas kemashlahatan akal sehingga jikalau seseorang dipaksa meminum arak dan diancam akan dibunuh maka dia harus meminum meskipun akan berpengaruh di dalam kemashlahatan akalnya dan begitu juga seterusnya.
3.    Mashlahah- mashlahah duniawi yang dibawa oleh Syari’at hanya ada pada sekup-sekup tertentu sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, Hadits dan Qiyas. Dan ini jelas membuktikan bahwa mashlaha duniawi berada pada naungan panji-panji Agama karena dengan Agama ketetapan mashlaha akan sah dan sempurna dengan mencermati hal ini maka terkuaklah subtansi makna dari firman Allah:
"وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم الرسول عنه فانتهوا" [الحشر:7]
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarang kepadamu maka tinggalkanlah”
Dan firman Allah:

"قالوا إنما البيع مثل الربا وأحل الله البيع وحرم الربا" [البقرة:275]

Artinya: “Mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dan firman Allah:

وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولاتتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله [الأنعام:153]

Artinya: “Dan bahwa  (yang kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya”
III.       Konserfasi Syari’at akan mashlahah.
Meskipun ushuliyyin berbeda pendapat mengenai ‘illat Syar’iyyah dinisbat pada hukum apakah status sebagai mu’atsir ataukah sebagai mu’arrif? Dan meskipun juga sebagian besar mereka sepakat dalam ilmu ushuluddin mengenai bahwa af’alnya Allah tidak di’illati tetapi kami tidak menemukan satu Ulamapun yang menentang bahwa semua hukum Allah memuat atas segala kemashlahatan hamba di Dunia dan Akhirat dan karena sesungguhnya Maqoshid Al-Syar’iyyah hanyalah untuk mewujudkan kebahagiaan hakiki bahkan semua Ulama sepakat akan hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Amidi di dalam kitabnya  الإحكام في أصول الأحكام ج:3 ص:411  
a. Dalil konserfasi  Syari’at akan mashlahah
firman Allah:

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين [الأنبياء:107]

Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”
Mengutus utusan bisa menjadi rahmat bagi hambanya jikalau Syari’at telah mencakup segala hal yang berkaitan dengan kemashlahatan dan kebahagiaan hamba di Dunia dan Akhirat namun jikalau tidak !! maka mengutus seorang utusan tidaklah merupakan rahmat bagi hamba tetapi merupakan siksa bagi mereka karena seakan-akan Allah berkata kepada Nabi-Nya “Sungguh apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya adalah suatu yang menyebabkan seseorang hamba bisa meraih kebahagiaan Dunia dan Akhirat sebagaimana firman Allah:

ألم تر إلى الذين بدلوا نعمت الله كفرا وأحلوا قومهم دار البوار [إبراهيم:28]

Artinya: “Tidaklah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan”
Dan firman Allah:
إن الله يأمركم بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون[النحل:90]
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
Pada hakikatnya berbuat adil antara dua perkara adalah membuat keseimbangan di antara keduanya di dalam segala hal dan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah konservasi moderat (توسط) antara  الإفراط  (melampaui batas) dan التفريط  (kesembronoan/ kelalaian) dalam segala hal dan tidaklah hakikat sistematis mashlahah untuk dan menjadi terkoordinasi dengan yang lain kecuali dengan menjaga kemoderatan antara الإفراط   dan   التفريط di segala urusan ummat karena kedua hal tersebut berdampakkan mafsadan dan tidak bisa dipungkiri firman Allah:
ياأيها الذين آمنوا استجيبوا لله وللرسول إذا دعاكم لما يحييكم  [الأنفال:24]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu”
Allah menjadikan apa yang menjadi ajakan Allah dan Rasul-Nya sebagai sebab dari kehidupan sempurna karena lafal  يحييكم  berimplikasikan  makna hidup yang sempurna tidak sebagaimana biasa karena kehidupan biasa tidak berkaitan dengan apa yang telah menjadi seruan Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang kita ketahui ibersama sedangkan kehidupan manusia bisa sempurna jikialau kebahagiaan Dunia dan Akhirat bisa tergapai dan kebahagiaan abadi tidak bisa digapai kecuali dengan mengikuti apa-apa yang telah menjadi seruan Allah dan Rasul-Nya. Nabi bersabda:
الخلق كلهم عيال الله فأحبهم إلى الله أنفعهم لعياله
Nabi menjelaskan bahwa tolak ukur dari dekatnya hamba pada Allah adalah bergantung pada sebatas mana dia mau mendahulukan manfa’at dan mengabdikan diri pada hamba-Nya yaitu dengan cara menjaga dan memelihara kemashlaatan mereka dan apa-apa yang menjadikan mereka meraih kebagaiaan Dunia dan Akhirat. Sabda Nabi:
لاضرر ولاضرار
Yang dinamakan  الضرر  adalah upaya seseorang di dalam menciptakan kemafsadahan  baik dengan tangannya sendiri maupun orang lain sedangkan yang di maksud  الضرار  adalah upaya dua orang di dalam saling menjatuhkan dan menimpakan mafsadah satu sama lain. Pada sabda Nabi ini terdapat qo’idah yang agung yang dimana pada sabda Nabi menutup rapat pintu-pintu mafsadah dan kehancuran dari hadapan orang-orang muslim sehingga tidak tersisa pada saat Syari’at Islam kecuali; sesuatu yang menjadikan kebaikan umat Islam di Dunia dan Akhirat dan masih banyak dalil yang menunjukkan akan konservasi Syari’at akan mashlahah yang tidak memungkinkan bagi kami untuk menyebutkan semua karena keterbatasan majlis karena tulisan ini disuguhkan sebagai masalah atau risalah bukan buku kajian
IV.Pembagian mashlahah
Mashlahah terbagi menjadi mashlahah Duniawi dan mashlahah ukhrawi.
Ketika Syari’at Islamiyyah juga mencakup akidah, ibadah dan mu’amalah dan konservasi mashlahah tidak nampak kecuali pada mu’amalah maka mayoritas Ulama membagi mashlahah menjadi dua bagian yaitu; mashlahah  ukhrawy yakni mashlahah yang terkandung dalam ‘aqaid dan ibadah dan mashlahah dunyawy yakni setiap m mashlahah yang terkandung dalam mu’amalah. Namun pada hakikatnya semua apa yang ada pada Syari’at Islamiyah ini yang meliputi ‘aqidah, ibadah, mu’amalah semua bersubtansi pada mewujudkan mashlahah untuk hamba, baik duniawi maupun ukhrawi sehingga seorang muslim yang memegang teguh akan hukum-hukum syari’at disegala pergaulannya bersama manusia dia akan memperoleh balasan perbuatannya di Dunia berupa dia mendapatkan mashaalih Ad-Din nya dan juga mendapat balasan di Akhirat berupa mendapatkan Ridla Allah dan Surgan-Nya. Begitu juga orang yang menjaga ibadahnya dengan memperbanyak taat kepada Allah dan memperbanyak dzikir kepada Allah dia akan memperoleh balasan berupa mendapat pahala dan ridla Allah dan juga mendapat balasan di Dunia berupa dipermudahkan oleh Allah jalannya
V.   Masuknya mashlahah pada Maqaashid Al-Syar’iyyah
Maqaashid Al-Syar’iyyah untuk hambanya berputar pada lima perkara yaitu menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta. Maka setiap perkara yang berdampakkan akan menjaga salah satu perkara lima ini disebut mashlahah lalu washilah di dalam menjaga lima perkara ini tersusun menjadi tiga gradual. Sesuai dengan pentingnya dan lebih penting mashlahah tersebut yang dikenal oleh Ushuliyyun dengan 1. الضروريات 2.  الحاجيات  3.  التحسينات  
Dlaruuriyaat
Adalah suatu yang wajib demi menjaga perkara lima tersebut dan semua itu dapat dihasilkan dengan menegakkan pilar-pilarnya dan menetapnya mencegah kerusakan yang menimpa atau kerusakan yang akan menimpa.
Syari’ dalam rangka konservasi Agama mensyari’atkan iman dan mengucap dua syahadat dan perkara yang berkaitan dengan rukun-rukun Islam dan syari’ dalam rangka menjaga Agama mensyari’atkan jihad dan memberikan hukuman kepada orang yang mengajak umat kepada bid’ah dan juga demi menjaga ketetapan jiwa Syari’ memperbolehkan makan, minum, tempat tinggal yang kehidupan sangat bergantung padanya, dan dalam rangka menjaga hukum keutuhan jiwa Allah menyari’atkan hukum qishos dan diyat , begitupula demi menjaga ketetapan keturunan Syari’ (Allah) menyari’atkan nikah, hadlanah, nafaqah sebagaimana di dalam menjaga keutuhannya Syari’ mengharamkan zina dan mencanangkan hukum had, demi menjaga ketetapan akal Syari’ menyari’atkan apa-apa yang disyari’atkan Allah demi menjaga jiwa yang diantaranya memperbolehkan makan makanan yang bisa menjaga tetapnya jiwa dan akal, begitu juga demi menjaga keutuhan akal  Syari’ menyari’atkan haramnya minum perkara yang memabukkan  dan mencanangkan hukum  had begitu pula demi menjaga ketetapan harta Allah menyari’atkan mu’amalah yang bermacam-macam bentuknya sebagaimana dalam menjaga keutuhan harta Allah mengharamkan mencuri dan mencanangkan حد السرقة
Al-Hajiyat:
Al-Hajiyat ini tidaklah begitu krusial karena lima pokok tersebut di atas bisa wujud tanpa adanya hajiyat ini  meskipun sempit sehingga disyari’atkan karena kebutuhan umat manusia di dalam menghilangkan kesulitan pada diri umat sehingga tidak akan terjerumus pada kesulitan yang bisa memalingkan pada tujuan utama semisal hajiyat yang ada hubungannya dengan menjaga Agama disyari’atkanlah keringanan semisal mengucapkan kalimah kufur untuk menghindar dari kematian dan semisal diperbolehkannya berbuka bagi orang yang berpuasa ketika dalam bepergian dan sebagaimana contoh hajiyat yang berhubungan dengan menjaga jiwa yaitu diperbolehkannya memburu hewan sedangkan itu merupakan hal sekunder dari pokok diperbolehkannya makan dan seperti contoh hajiyat yang berhubungan dengan menjaga harta semisal diberikannya keleluasaan di dalam bermu’amalah   semisal akad qiradl , salam, musaqah dan contoh hajiyat yang berhubungan dengan menjaga nasab seperti disyari’atkannya adanya mahar, thalaq dan lain sebagainya
At-Tahsiinaat
Tahsinat ini jikalau tidak dilakukan tidaklah menjadikan seseorang dalam kesulitan tetapi meskipun begitu memelihara tahsinat  adalah sesuai dengan norma mengambil hal yang patut dan menjauhi yang tidak patut dan sejalan dengan makarimul akhlaq dan mahasinul adah semisal contoh dari sesuatu yang layak bagi Agama yaitu hukum-hukum najis bersuci menutup aurat dan lain sebagainya dan contoh suatu yang layak bagi menjaga jiwa yaitu sopan santun di dalam makan dan minum dan menjauhi perkara yang menjijihkan dari makanan dan contoh perkara yang layak bagi harta yaitu dilarangnya menjual barang najis sisa air dan rerumputan dan contoh dari sesuatu yang berhubungan dengan menjaga nasab itu semisal kafa’ah , tata cara mu’asyarah diantara suami istri.
          Adapun dalil akan terbatasnya Maqashid As-Syari’ah hanya pada lima pokok ini adalah istiqra’ (observasi) karena observasi pada person-person hukum yang berbeda membuktikan bahwasanya Syari’ah hanya berputar pada lima pokok tersebut, hanya saja sebagian Ulama menambahkan Al-‘Irdlu sebagai pokok yang ke enam.
VI.Maqashid Al-Khamsah adalah sebagai perantara untuk mewujudkan klimaks yang universil
Lima pokok adalah merupakan perantara akan wujudnya suatu klimaks yang universil yaitu seorang mukallaf haruslah menjadi hamba Allah di dalam melangkah dan menentukan pilihan sebagaimana mereka adalah hamba Allah karena sebab diciptakan oleh Allah.
          Dasar-dasar memelihara Agama terjadi dari aqidah dan ibadah sedangkan washilah menjaga ketetapan jiwa adalah dari makan, bertempat tinggal dan berpakaian dan begitu juga seterusnya. Adapun dalil yang menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah:
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون [الذاريات:56]
Dan firman Allah:
وابتغي فيما آتاك الله والدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا [القصص:77]
Ulama sepakat bahwasanya yang dimaksud dengan bagiannya manusia dari Dunia adalah perkara yang dihasilkan dari Dunia untuk Akhiratnya dan lagi firman Allah:
أفحسبتم أنما خلقناكم عبثا وأنكم إلينا لاترجعون [المؤمنون:115]
Karena apabila di sana tidak ada tujuan penciptaan berkaitan dengan mewujudkan lima pokok Maqashid As-Syari’ah pada makhluq niscaya akan berakhir pada sirnanya kehidupan Dunia karena yang diperkirakan bahwa sesungguhnya nikmat Akhirat dan siksanya tidaklah kecuali untuk sebuah motifator dari implementasi Maqashid lima tersebut dan hal semacam ini adalah main-main (عبث) yang dinafikan oleh Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar