Minggu, 21 November 2010

ISLAM KEBUTUHAN FITRAH MANUSIA


ISLAM KEBUTUHAN FITRAH MANUSIA

  oleh: Ibnu 81

Ada sebuah pertanyaan yang mungkin jarang atau tidak pernah terlintas dalam benak kita selaku orang yang (alhamdulillah) sudah muslim sedari kecil dan justru berbahaya apabila kita lontarkan dengan nada ingkar, yaitu: “Kenapa kita harus beragama ? Bagaimana seandainya kita dibiarkan menentukan jalan hidup sendiri tanpa menggantungkan diri pada siapapun, tanpa terikat oleh suatu aturan?”. Dalam menanggapi pertanyaan tersebut, mungkin  dengan keyakinan dan keimanan kita akan kebenaran agama, pasti tidak akan terlalu pusing untuk menjawabnya, cukup dengan mencuplik firman Allah dalam surat Al-Dzariyat ayat 56: “Dan tidaklah Ku jadikan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembahku”.
Kesimpulan ayat tersebut  adalah  kita beragama karena memang diperintahkan Allah sebagai bentuk penyembahan terhadapNya.
            Sekarang, bagaimana jika yang menanggapi adalah orang yang pernah merasakan kosongnya hati dari aqidah, kemudian mendapat keberutungan berupa hidayah Allah, tentunya dia akan memaparkan jawaban yang lebih panjang daripada sekedar membacakan ayat di atas, karena dia merasakan betul bagaimana hinanya hidup tanpa terkekang, layaknya binatang liar dan bagaimana hidup dengan konsep yang pasti dengan tatanan islami. Hal ini dibutuhkan jawaban yang lebih panjang lagi apabila pertanyaan serupa dilontarkan kepada orang yang miskin  akan pemahaman tentang aqidah islam serta miskin keimanan. Dan lazimnya orang dengan kondisi demikian, cenderung membanggakan kemandirian aqal. Jadi, dibutuhkan sebuah rentetan jawaban yang mencukupi, setidaknya untuk menghadirkan kesadaran dan pengertian tentang vitalnya keberadaan aqidah dalam hati. 
Allah menciptakan manusia untuk menjadi kholifah yang bertugas mengelola, membangun, dan menata segala aspek kehidupan di bumi, sebagai wujud realisasi hikmah Allah pada setiap ciptaannya.
“ Sesungguhnya Aku (Allah) mengetahui yang kalian (Malaikat) tidak ketahui” (QS. Al-Baqoroh).
Dan agar bisa melaksanakan tugas tersebut, lalu tubuh manusia dilengkapi dengan sifat-sifat dan karakter yang menunjang sebagai kholifah. Sifat dan karakter tersebut antara lain: aqal, ego, ambisi dan sifat-sifat penguasa yang lainnya, kemudian diberi sifat-sifat pelengkap seperti rasa suka, benci, amarah dll. Meski demikian, manusia tidak bisa dibiarkan mandiri secara mutlak dalam menjalani peran  kholifah,  karena semua sifat-sifat dan karakter yang diharapkan bisa menunjang manusia sebagai pengelola bumi itu ternyata tidak hanya mempunyai efek positif melainkan lebih cenderung menampakkan efek negatif sehingga diibaratkan layaknya pedang bermata dua.
Oleh karenanya, Allah menyebut sifat-sifat dan karakter tersebut dengan nama “Amanah”.
Sesungguhnya telah kami tawarkan amanah itu kepada langit, bumi dan gunung. Tetapi mereka menolaknya dan minta dihindarkan darinya. Dan akhirnya manusia mau mengembannya. Sungguh manusia adalah mahluk yang suka berbuat aniaya dan kebodohan” (QS. Al-Ahzab 72)
Sejarah manusia dari masa ke masa telah banyak membuktikan bahwa mereka dengan karakternya hanya membuat kekacauan dan kehancuran di  bumi,  lalu ketika bumi membutuhkan pembenahan dan penyelesaian segala permasalahan yang terjadi pada semua aspek kehidupan, aqal beserta sifat pendukung lainnya tidak dapat membantu manusia  untuk menjadi pahlawan penyelamat bumi dari kehancuran. Justru manusia dengan ambisinya berusaha melengkapi porak-porandanya bumi dengan berbagai bentuk penindasan harkat martabat orang lain, demi menggapai tujuan ambisinya yaitu kekuasaan. 
Penderitaan bani Israil di bawah penindasan rezim Fir’aun adalah salah satu bukti sejarah yang sudah terlalu banyak yang mengakui kebenarannya.
Jika ditanyakan kapan bani Israil terentas dari penindasan Fir’aun? Apakah ketika munculnya sosok pahlawan dengan kekuatan super? Kalau memang benar siapakah dia?
Jawabannya mungkin langsung tertuju pada sosok calon nabi pada masa itu yaitu Musa, akan tetapi Musa       menjadi penyelamat bani Israil tidak dengan kekuatan dirinya sendiri, karena dia sendiri pernah melarikan diri ke Madyan ketika dikejar-kejar tentara Firaun gara-gara membunuh seorang pemuda Qibti. Musa baru bisa menghentikan kelaliman Fir’aun setelah dia mengemban risalah suci dari bukit TURSINA.
            Jadi, manusia dengan semua karakter bawaannya belum bisa dipercaya untuk bertanggungjawab menjaga bumi, karena sifat dan karakter tersebut bukannya mengarahkan kepada peran positif tapi justru merubahnya menjadi mahluk yang lebih buas daripada binatang.

Lalu, apalagi yang dibutuhkan manusia untuk merealisasikan hikmah ilahi penciptaannya? tidak ada lagi yang bisa diharapkan kecuali kendali Sang Pencipta yang tiada lain adalah agama atau aqidah yang lurus. Aqidah yang lurus adalah mempercayai keberadaan  dzat  yang   Maha Agung yaitu Allah serta kekuasaanNya yang absolut, dan setiap perkara selain Allah adalah mahluk yang dalam tiap gerak-geriknya berada dalam genggaman kendaliNya dan meyakini bahwa semua manusia akan dibangkitkan dari kematian lalu semua amal perbuatan akan dipertanggungjawabkan.
“ Maka barang siapa beramal kebaikan sebesar biji dzarrah, dia pasti akan melihatnya. Dan barang siapa yang melakukan kejelakan sebesar biji dzarrah, dia pasti akan melihatnya pula.” (QS. Al-Zalzalah)
            Setelah memiliki aqidah, manusia akan menyadari bahwa semua potensi diri yang membanggakan tidak bisa melepaskan dia dari kehambaan (ubudiyah). Karena dia tahu sekarang ternyata ada penguasa dengan kekuasaan  yang benar-benar tidak dapat diganggu gugat yang memiliki kendali penuh atas semua makhluk. 
            Dengan begitu efek negatif dari aqal  dan   sifat pendukung lainnya bisa teredam sehingga efek positifnya lebih dominan. Tidak lagi kerakusan menuruti ambisi, yang ada hanyalah kepatuhan terhadap kendali Sang Kholik.
Agama sebagai wujud bantuan Allah kepada manusia tidak hanya menata aspek rohani dalam bentuk aqidah, tapi juga mengatur dan menertibkan aspek jasmani dalam bentuk syariat-syariat dhohir.
Dan di balik kedua aspek global tersebut ada aspek-aspek lain dari manusia yang begitu kompleks sesuai dengan ragam kultur masyarakatnya.  
Tentu saja tuntutan manusia untuk menerapkan agama semakin rumit karena tidak boleh ada aspek yang terlewatkan tanpa pengaruh agama, hal ini menuntut adanya agama dengan undang-undang yang lengkap demi melayani penyelesaian berbagai pemasalahan yang terjadi di bumi, apalagi jika agama tersebut diterapkan pada seluruh umat  manusia tanpa terkecuali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar