Jumat, 10 Desember 2010

MUT'AH DAN SEKS BEBAS


MUT'AH DAN SEKS BEBAS
Diambil dari buku berjudul “Epistemologi Antagonisme Syi’ah dari IMAMAH sampai MUT’AH” karya: Mohammad Baharun


FATWA soal mut'ah pernah diputuskan oleh Komisi Masa'il (pembahasan berbagai masalah agama) Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Mataram. Sudah cukup lama warga nahdliyyin kala itu dibuat repot oleh kasus mut'ah, yang memang belakangan menjadi isu marak sampai-sampai suatu rganisasi mahasiswa di Surabaya sempat 'kepeleset' mengusulkan untuk membuka semacam posko kawin mut'ah ala Syi'ah itu di kompleks pelacuran-katanya demi memberi solusi masalah perzinahan[1]. Belakangan disinyalemen, konon ada indikasi agen Syi'ah yang menyelinap ke dalam tubuh organisasi itu. Belum lagi di jawa Tengah, kabarnya pernah ada juga pihak yang menggugat ke pengadilan, karena sang putri hamil duluan sebelum nikah - setelah mengikuti 'pengajian ekslusif', dan ternyata diam-diam ia jadi 'korban' mut'ah. Keresahan pun melanda orangtua, yang putrinya indekos di luar kota untuk kuliah[2].
Itulah mungkin yang antara lain menuntut para Kiai NU kemudian memutuskan fatwa mut'ah. Dan sebelum organisasi terbesar ini merumuskan, sesungguhnya ada PP Ittihadul Muballighin yang telah mendahului untuk menetapkan putusan keharamannya.
Istilah harfiah "nikah"[3] disebut "aqd atau akad", yang artinya adalah suatu ikatan. Dalam bahasa Indonesia disebur kawin, serumpun dengan kata kawan, maksudnya kawin itu lebi intim dan akrab dari sekedar kawan, tidak boleh ikatan itu lepas: bersatu bukan untuk bercerai. Dan jangan ucapkan perceraian dalam persatuan, walaupun akhirnya setelah dijalani prose_ perpisahan itu terjadi, tetapi kita tidak mendahului kehendak Tuhan. Sedangkan mut'ah secara etimologis berarti "bersenang- senang". Dalam terminologi fiqh, nikah mut'ah tidak lain adalah kawin sementara atau kawin kontrak, yang tujuan pokoknva untuk mendapatkan kenikmatan pada masa yang ditentukar, dalam hubungan berpasangan secara berjangka. Bukan niat un ibadah sebagaimana lazimnya perkawinan resmi melalui wali dan saksi. Melainkan secara berduaan saja, boleh jadi keluarga dan tetangga tidak mengetahui, dan memang demikian halnya "perkawinan gelap". Prakteknya mirip samen leoen[4]' yang marak di negeri-negeri Barat, hanya saja seks bebas ini dikemas atas nama agama oleh sebagian besar pemuka pemeluk Syi' ah.
Umat Islam (Ahlus sunnah wal Jamaah) sepakat, bahwa nikah model ini dinyatakan mutlak haram. HanyaSyi'ah yane tetap bersikukuh, bahwa nikah kontrak ini tidak dilarang-e-kecual; oleh 'Umar bin Khattab di masa khilafahnya. Ditimbulkan kesar seolah-olah 'Umar mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Nabi, yang punya otoritas untuk menetapkan halal atau haram, suatu perkara tertentu. Padahal tidak dernikian sebenarnya, justru Khalifah 'Umar melaksanakan peninjauan atas suatu ketetapan dari Nabi yang nyaris sudah dilupakan orang. Asumsi yang menyebut 'Umar melarang mut'ah, secara otomatis juga menuduh Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib bersekongkol dan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Sebab, di masa khalifah 'Umar-lah beliau menjabat secara proaktif sebagai mustasyar (penasihat keagamaan) Khalifah, sehingga terungkap pengakuan jujur dan jernih dari 'Umar sendiri, bahwa "Tanpa keterlibatan 'Ali maka gagallah (dalam pemerintahan) 'Umar (Laula 'Ali, Lahalaka 'Umar).
Ternyata tidak semua Syi'ah menerima mut'ah, misalnya Syi' ah Zaidiyah, sebuah aliran pemikiran yang mendekati Sunni ini mengharamkan Mut'ah berdasarkan hadith-hadith Nabi. Sebaliknya, Syi'ah Ithna 'Asyariyah (Dua Belas Imam) mengaggap kawin sementara itu sah, bahkan ayat " ... maka isteri-isteri yang kamu nikmati atau campuri (jamastamta'tum bihi) di antara mereka berikanlah maharnya sebagai suatu kewajiban" (Q.S. 4:24). Kalimat "[amastamta'ium bihi" ditambah "ila ajalin Musamma" (dikaitkan dengan qira'ah alias bacaan) versi 'Ibnu Mas'ud yang tidak populer (tidak disepakati para ulama). Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama menyebut qiraah itu ganjil dan aneh (Syadz). Oleh Syi'ah hal itu diyakini sebagai argumentasi yang
. membolehkan mut'ah: kosa kata istamta'u (telah digauli) kemudian diartikan mut'ah dan ajalin musamma (waktu tertentu) disebut sebagai mengacu kepada nikah semen tara itu. Padahal, ayat tersebut pada hakikatnya kontekstual pada perkawinan yang sebenarnya alias nikah daim, dan bukan nikah mut' ah sendiri, sebab korelasinya terletak pada ayat-ayat yang mendahului - berbicara      tentang pernikahan biasa, bukan sekali-kali nikah mut'ah.      
   .
Poligami Imam
Sementara itu dalam keyakinan akidah Syi'ah, mereka melakukan mut'ah mendapat pahala berlipat-lipat (seperti ditulis kitab al-Kafi dan al-Istibshar, yang keduanya kitab standar hadith versi mereka). Sampai ada yang menyebutkan bahwa derajat mereka yang bermut'ah sarna dengan derajat para imam". Terasa begitu berlebih-lebihan dalam menonjolkan mut'ah. Argumentasi ini patah dengan sendirinya bila berhadapan dengan kenyataan sejarah, bahwa Sayyidina 'Ali, Imam Agung yang diyakini kemas'shumannya itu - jangankan pernah melakukan mut'ah, poligami pun tidak pernah dilaksanakannya. Juga Hasan dan Husain, kedua putranya memilih poligami dan bukan perkawinan mut'ah.
Bagi Syi'ah Dua Belas Imam yang berkembang di Iran sekarang, agaknya mut'ah perlu dipertahankan untuk memberikan kemudahan dan "service" yang spektakuler dan daya tarik ampuh bagi para kader dan pengikut, terutama kalangan remaja agar bersemangat dalam gerakan revivalisme Syi'ah. Dikaranglah buku-buku khusus masalah mut'ah yang dikemas begitu menarik disertai argumen-argumen filosofis, yang sebagian ada diterbitkan di sini, sekaligus literatur itu berfungsi untuk mematahkan argumentasi non-Syi'ah yang mengharamkan mut'ah. Bagi mayoritas muslimin di dunia, mut'ah secara pasti diyakini sudah dilarang oleh Nabi, bahkan sampai Hari Kiamat nanti.
Dipertahankannya mut'ah yang sudah dilarang itu oleh Syiah Imam Dua Belas, bagi sebagian orientalis dijadikan bahan cemoohan, dengan menganggap umat Islam tidak cukup peka untuk membedakan batas pelacuran dengan pernikahan dalam konteks kawin mut'ah itu tadi. Walaupun beralasan karena ada 'ijab dan qabul' (serah terima) dan mahar (ajr), tentu itu beda dengan perkawinan biasa yang tidak "sesederhana" begitu seperti orang jual-beli barang, tetapi memerlukan kesaksian, keterlibatan kedua belah pihak keluarga dan keterbukaan pelaksanaan akadnya, agar orang mengerti bahwa itu adalah suatu hubungar. sah. Nabi pernah mengatakan "Buatlah pesta undangan Walimah (untuk akad nikah) meski dengan hanya seekor kambing".? Bukar. makanannya yang penting melainkan publikasi hubungan ini agar terekspos luas di tengah masyarakat. Lain mut'ah yang jaraknya dengan perzinahan begitu tipis: adalah ucapan kedua pihak yan,o- menentukan lamanya hubungan (kontrak) dan pembayaran yan, ditentukan (ajr) - yang dalam kompleks pelacuran pun transaks; ini pasti menentukan terjadinya kedua pasangan dapat mengika: hubungan singkat demi kenikmataan sesaat yang sama-samz dimaukan. Wanita bagaikan barang yang bisa berpindah tangar.
Jika disebut-sebut bahwa setiap upaya hidup makhluk itu harus didasarkan niat ibadah kepada Khalik-Nya (Q.S. 51:56) termasuk urusan berumah tangga, itu semata karena tujuan yang akan dicapai adalah untuk mengembangkan keturunan dalam keluarga sakinah yang bermotto "mawaddah wa rahmah" (diliputi suasana cinta-kasih). Maka as as yang mendasari maksud tersebut tidak terdapat pada mut'ah. Inilah barangkali perkawinan yang tidak bertanggung-jawab/, suami-suami (amijal) yang seharusnya "qawwamuna 'alan nisa" (memimpin secara bertanggungjawab pada isteri-isteri) di sini sebaliknya: berperan "habis manis sepah dibuang". Karena itu jika punya anak (akibat perkawinan ini), maka si anak sarna sekali tidak punya hak mewarisi hart a pus aka "mantan" ayahnya. Begitu pula sang isteri, tak berhak mendapat nafkah, karena 'ajr' dalam kontrak itulah haknya berdasarkan transaksi. Dan tak ada zihar dan apalagi talak dalam hubungan perkawinan model ini. Berapapun kalimat talak, misalnya pernah diucapkan seorang pemut'ah tidak akan memutuskan ikatan perkawinan keduanya sebelum mas a kontrak itu habis. Batas waktu itu adalah perceraian yang terselubung dalam perjanjian hubungan sementara. 

Warisan Jahiliyah
Secara historis, mut'ah adalah 'warisan' masyarakat [ahiliyah klasik. Tercatat sekitar abad IV Masehi, orang Quraisy sudah mengenal banyak model perkawinan bersyarat, salah satunya adalah kawin kontrak itu. Menurut Shorter Encyclopedia of Islam (Philip K. Hitti & J. Kraemer, Leiden,1953- dengan mengutip sumber-sumber sejarah Islam secara akurat), setiap menjelang keberangkatan para kafilah (saudagar-saudagar) ke negeri-negeri yang jauh, mengharungi gurun sahara selama berbulan-bulan, mereka membawa wanita-wanita sebagai ternan perjalanan.
Perempuan yang khusus melayani kafilah, malam hari bergentayangan mencari pasangan sembari mengucap lirik syair, yang merayu-rayu: "Matthi'uni biha lailah (bermut'ahlah denganku walau semalam)". Mungkin mirip para WTS zaman sekarang yang beroperasi untuk menjaring hi dung belang.
Sehingga lantaran"itu barangkali warga jahiliyah meremehkan status perempuan, dan kemudian banyak yang merasa gundah bila mendengar isterinya melahirkan bayi wanita. Sampai-sarnpai ada yang memilih untuk mernbunuhnya, ketimbang kelak mencoreng nama keluarga.
Lalu datang Islam, maka Rasulullah SAW menentukan perkawinan daim" sebagai satu-satunya pernikahan sah. Akan hal mut'ah yang merupakan 'peninggalan' Arab pra Islam itu pun memang sempat diizinkan Nabi untuk dipraktikkan sebagian sahabat. Yaitu pada mulanya tatkala dalam suatu ekspedisi militer yang diikuti sahabat dan sudah tentu dengan harus meninggalkan rumah sampai lama (dalam permulaan perkembangan Islam), sebagian mereka minta izin kepada Nabi agar dibolehkan mengebiri kemaluannya sendiri. Izin itu diajukan tidak lain lantaran mereka tak mampu menahan dorongan seksual, ketika meninggalkan keluarga masing-masing di rumah begitu lama. Tentu saja izin itu ditolak Nabi. Seperti ditulis dalam buku Mut'ah iTemporarv Memiage), sontak Nabi pun melarang niat itu dan membolehkan mut'ah dalam kondisi yang amat darurat, karena kuatir mereka tak punya keturunan. (Dr. Muhammad Muslehuddin, Ph.D, Islamic Publication,Ltd. Lahore,1987).
Setelah itu dalam berbagai kesempatan, Rasul melarang praktek mut'ah (seperti dalam hadith Bukhari-Muslim, bahwa perawi utamanya adalah 'Ali bin Abi Thalib RA) yang pernah diizinkannya dalam keadaan darurat itu, (Lihat: misalnya Sahih Bukhari Bab Rasulullah SAW Larang Nikah Mut'ah Terakhir &: Sahih Muslim Bab Nikah Mut'ah dan Penjelasan Bahwa Pernah Dihalalkan Lalu Dihapus Lalu Dihalalkan Lalu Dihapus dar Ditetapkan Keharamannya Sampai Kiamat).
Sementara Nabi sendiri, dalam kesempatan lain menganjur- kan kepada kaum remaja yang belum mampu kawin supaya berpuasa, untuk "meredam" gejolak hawa nafsu labido. Ini berbeda dengan anjuran kalangan Syi'i, yang mendorong para pemuda agar bermut'ah dulu (pranikah) sebelum naik k pelaminan yang sebenarnya.
Kasus pelanggaran mut'ah pada dasarnya mlnp pelanggaran atas minuman keras. Pada tahap awal, minuman khamr (yang juga 'pusaka' Jahiliyah) ini dibolehkan, malah dibiarkan saja ketika ada sahabat yang mabuk sembari melakukan shalat. Maka pada fase ini lantas turun ayat melarang mabuk dalam shalat (Q.5. 4:43). Dan tahap berikutnya (terakhir) larangan minuman keras diberlakukan secara mutlak (Q.S. 5:90).
Hikmah dilarangnya mut'ah lebih menjamin terhindarnya promiskuitas (percampuradukan benih) yang berdampak negatif seperti ketidak-jelasan nasab dan timbulnya penyakit kelamin, yaitu yang paling berbahaya adalah AIDS itu. Sebab, harap maklum dalam perkawinan mut'ah ini pihak wanita tak ubahnya seperti barang dagangan yang dapat pindah tangan (siapa saja)
asalkan ia mau dan setuju mengikat kontrak. Seorang wanita bisa berpasangan mut' ah dengan seberapa banyak lelaki yang ia setujui untuk "mampir" dalam kehidupannya. Dalam proses gonta-ganti mitra seks sudah pasti mengandung resiko tinggi terjangkiti penyakit AIDS yang tidak ada obatnya itu. Di Iran (pusat Mut'ah) sendiri pada tahun 1994 sudah mencatat angka 5000 orang penderita AIDS, 82 di antaranya meninggal (Republika 26 Juli 1994). Entah tahun berikut tak diperoleh pengumuman angka- angka susulan. Namun berita yang memilukan ialah adanya sekitar 250 ribu anak terlantar tanpa bapak (seperti disiarkan Majalah Asshira' dari Teluk, yang sempat didokumentasikan dalam 'Kliping' Yayasan Albayyinat Indonesia) akibat nikah mut'ah yang tak bertanggung jawab ini.? Sehingga Presiden Rafsanjani (kala itu) sempat prihatin memikirkan masalah tersebut.
Tampaknya yang paling gigih menentang praktek mut'ah di negerinya sendiri adalah kalangan wanita. Belakangan kaum hawa Iran memang pernah melakukan unjuk rasa menuntut penghapusan mut'ah dari bumi Persia yang dipelopori oleh Fatimah Kamoubi- Putri Mahdi Kamoubi, ketua parlemen Iran (Lihat "Wanita Iran Emoh Dimut'ah", Majalah Semesta, Juli 1992).
Itulah efek samping mut'ah yang cukup signifikan. Karenanya jika mut'ah tak segera dicegah, niscaya akan merusak citra pernikahan yang merupakan sunnah Rasulullah. Tak dapat dibayangkan seandainya kebebasan seks tadi dianut oleh muslimin dimana-mana, boleh jadi memang benar menurut asumsi Syi'ah, pelacuran segera terhapus. Karena perselingkuhan seksual yang dilaksanakan secara terselubung dan diam-diam itu sudah dijustifikasi dengan dalil-dalil agama. Orang akan segera berkilah mut' ah, misalnya sewaktu-waktu jika kepergok kenalan sedang berselingkuh dengan wanita lain di kamar hotel. Kalau itu sudah ditradisikan, maka rusaklah tatanan perkawinan resmi. Seorang anak gadis perawan yang kehilangan kesucian karena 'kecelakaan', akan menemukan alasan berdalih, dengan mengatakan itu karena akibat mut'ah yang dihalalkan.
Agaknya fatwa haramnya mut'ah itu perlu dimasyarakatkan di kalangan yang sudah terlanjur II gemar sesuatu yang nikmar sesaat" itu. Yang penting mungkin bukan fatwa haramnya, karena memang sejak awal termaktub secara mutawatir keharamannya di dalam kitab-kitab hadith. Akan tetapi bagaimana memasyarakatkan fatwa itu secara luas, agar muslimin awam jad; mengerti: untuk meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia muslim yang berkualitas, harus melalui pernikahan yang dianjurkan oleh Islam. *)



[1] Begitu antusias dalam memasyarakatkan mut'ah ini, hingga mereka yakin benar bahwa mut'ah ini seolah-olah sebagai solusi penting untuk mengatasi pelacuran dan prostitusi.
[2] Para mahasiswa/mahasiswi yang indekos di dekat kampus - terutama mereka yang bebas bergaul, mendapatkan dalih untuk berpacaran dan bahkan melakukan hubungan seksual pranikah. Bahkan image yang terlihat adalah rernaja yang masih belia ini dengan mengenakan jilbab berangkulan (dan bahkan berciuman di muka umum): apakah mereka itu suami-isteri? Tidak, kata mereka, kami bermut'ah. Atau ada yang mengandaikan perilaku itu sebagai "eksprimen nikah".
[3] lkatan nikah ini dalam syari'at Islam disebut sebagai "Mithaqon Qalidhan" (Perjanjiar, yang Kokoh). Ada tiga kategori perjanjian yang dalam Islam disebut sebagai ikatar; yang kokoh tadi, yakni: Perjanjian Allah dengan para utusan (Rasul)Nya, Rasul deng= para sahabat (pengikut)nya dan suami dengan isteri.
[4] Samen leven adalah tradisi freesex yang lahir dari pergaulan bebas khususnya di kalangaz remaja dan pemuda di negeri-negeri kapitalis seperti Eropa dan Amerika Serikar Maraknya sekularisme dan liberalisme di Barat menjadikan masyarakat di nege;::- negeri tersebut terjebak dalam perangkap tradisi yang permissif (serba boleh) bahkar hubungan seksual sedarah (incest) dan sodomi juga (nau'udzubillah) dipraktekkan - sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar