oleh: kang Saif
Dikalangan santri, terutama para pemerhati Turots Islami tentunya tidak asing lagi sebuah kitab yang bernama Fathul Mu’in, sebuah kitab yang dikarang oleh seorang Ulama yang begitu Alim dan tokoh Shufi yang terkenal manjur Do'anya yaitu Syeh Zainuddin bin Muhammad al Ghozaly al Malibary .
Kitab Fathul Mu'in merupakan salah satu karya monumental ulama muta’akhirin dari kalangan Syafi’iyah yang menjadi standar kitab bagi pesantren di Indonesia. Bahkan di beberapa pesantren, kitab tersebut sebagai tolok ukur santri dalam penguasaan kitab Salaf. Sebuah Kitab kecil yang banyak sekali memiliki keunggulan dibanding kitab-kitab lain dan diajarkan hampir di semua pesantren yang berhaluan Ahli Sunnah syafi’iyah di Dunia ini.
Kitab Fathul Mu'in adalah Kitab Syarah Qurrotul 'Ain Fi Muhimmatu al Din, sebuah Syarah yang menjelaskan ma'na murod, menghasilkan maksud dan menjelaskan bebarapa faidah, sebagaimana di jelaskan dalam muqoddimah kitab tersebut.
Kitab Qurrotul 'Ain sendiri merupakan karya Syeh Zaenudin al Malibari sendiri, sebuah kitab yang sangat barokah, sebagaimana pengakuan dari Syeh Bakri Satho dalam Hasyah I'anahnya, karena kitab ini telah di do'akan oleh pengarangnya yang mustajab do'anya supaya kitab ini membawa menfaat bagi para pembacanya
Syekh Zainuddin Al-Malibari
Syeh Zeinuddin al Malibari merupakan ulama' yang di lahirkan di daerah Malabar, India Selatan. Tak diketahui secara persis, kapan Syekh Zainuddin Al-Malibari lahir. Bahkan, wafatnya pun muncul berbagai pendapat. Beliau diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 970-990 H dan di makamkan di pinggiran kora Ponani, India. Tepatnya terletak di samping masjid Agung Ponani atau Funani.
Beliau adalah cucu dari Syeh Zeinuddin bin Ali pengarang kitab Hidayatul Adzkiya' (I'anah I/151), sejak kecil, Syeh Zaenuddin al malibari telah terdidik oleh keluarga agamis, selain sekolah di al Madrasy yang didirikan oleh kakek beliau, beluau juga berguru kepada beberapa Ulama' Arab, termasuknya adalah Ibnu Hajar al Haitami dan Ibnu Ziad.
Perlu di ketahui, bahwa sesungguhnya nama ayah beliau bukanlah Abdul Aziz sebagaimana tertulis dalam kitab I'anatut Tholibin (I'anah I/7), melainkan nama ayahnya adalah Muhammad al Ghozali, dan Abdul Aziz adalah paman beliau sebagaimana pengakuan beliau dalam Muqoddimah Kitab al Ajwibah . Dan penggunaan paman sebagai Ayah adalah hal yang sangat lumrah.
Syekh Zainuddin Al-Malibari, selain dikenal sebagai ulama fikih yang mengikuti madzhab Syafi'i, beliau juga dikenal sebagai ahli tasawuf, sejarah dan sastra. Beliau mempunya beberapa karya dalam beberapa literarur Ilmu, dan di antara karya-karya beliau adlah Fath al-Mu’in syarah atas kitab karyanya sendiri Qurrat al-Ayn Fi Muhimmati al Din, Hidayat al-Azkiya ila Thariq al-Auliya, serta Irsyad Al-Ibad ila Sabili al-Rasyad, dan Tuhfat al-Mujahidin.
Seperti kebanyakan ulama lainnya, Syekh Zainuddin Al-Malibari juga dikenal sebagai ulama yang sangat tegas, kritis, konsisten, dan memiliki pendirian yang teguh. Ia pernah menjadi seorang hakim dan penasehat kerajaan, dan diplomat.
Manhaj kitab.
Kitab Fathul Mu’in ini tak jauh beda dengan kitab-kitab fiqh yang lain, yaitu membahas semua permasalahan Fiqhiyah, mulai dari Ubudiyah, Mu’amalah, Munakahah dan juga Jinayah dengan di klasifikasikan sesuai dengan bab-babnya.
Tapi dalam kitab fathul Mu'in ini, terkadang tidak menyebutkan sebuah pembahasan yang sebenarnya sangat penting untuk di sebutkan, sehingga, sering sekali Syeh Abu Bakar al Syatho dalam Hasyiyah I'anatu al Tholibin mengkritik tentang tidak adanya penyebutan tersebut, sebagaimana dalam permasaahan Ijtihad (I'anah I/45) Istihadloh (I'anah I/90), Istikhlaf (I'anah II/111) Ju'alah (I'anah III/146), atau penyebutan yang kurang sempurna. Bahkan ada sebuah masalah yang telah di sebutkan dalam judul ternyata tidak masuk dalam pembahasan, yaitu masalah menjual buah-buahan "Bai'u al Tsimar".
Hal di atas karena permasalahan tersebut di anggap tidak penting oleh pengarang, karena jarang terjadi pada masa itu atau kurang diperhatikan di kalangan awam, hal itu tercermin dari jawaban beliau ketika ditanya "kenapa hanya sedikit membahas tentang Haid (tidak membahas Istihadloh)? Beliau menjawab: "orang laki-laki tidak haid, dan orang perempuan tidak bertanya". Dari jawaban beliau di atas, memnunjukkan bahwa beliau mengarang kitab fathul Mu'in memang di peruntukkan oleh orang-orang yang membutuhkan, bukan sekedar untuk di kaji.
Jika kitab-kitab Fiqh biasanya memulai pembahasan dengan Kitab Thoharoh, sebagai intrumen penting sebelum melakukan Ibadah Sholat, tetapi kitab Fathul Mu’in ini mengawali pembahasan langsung ke Kitab Sholat, sebagai Ibadah yang paling fital dalam agama Islam, dengan Mangawali pembahasan Sholat, secara otomatis juga membahas Thoharoh, karena Sholat tidak akan Shah kecuali dengan Thoharoh.
Dalam pembahasan Sholat, kitab ini lebih enak untuk di telaah, karena dalam membahas kaifiyah atau tata cara Sholat, kitab Fathul Mu’in ini lebih runtut di banding dengan kitab lain, karena dalam penyebutan, tidak di klasifikasikan sesuai dengan Fardlu dan Sunahnya, melainkan di sebutkan sesuai dengan letak kaifiyah itu, metode seperti ini juga di terapkan dalam pembahasan Haji dan Umroh.
Terkadang dalam kitab ini juga terjadi pengulangan pembahasan, sebagaimana dalam masalah membaca keras didalam masjid, masalah ini sempat di bahas dua kali yang pertama pada Fashl Fi Shifati Sholat dan pada Fasl Fi Sholati al Jama'ah. Mungkin hal ini untuk lebih memperjelas masalah yang ada, terbuki, dalam pembahasan yang kedua, beliau lebih memerinci pembahasan dengan menampilkan perkhilafan antara Imam Nawwawi dan Ibnu Hajar.
Dalam kitab Fathul mu'in ini juga terdapat banyak sekali praktek perselisihan (mukhosamah), baik dalam bab Mu'amalah maliyah atau dalam Bab Munakahah, yang sebenarnya jika kita teliti, pembahasan antara yang satu dan lain tidaklah jauh berbeda. Hal ini di dasari oleh banyaknya kejadian Mukhoshomah pada masa itu atau karena itu merupakan perkara yang trend di kalangan pelajar dan banyak di tanyakan pada ulama'. Walaupun begitu, pengarang tetap berusaha menampilkan hal-hal tersebut dengan ibarat yang sangat ringkas tetapi tetap mengena.
Dan termasuk keistimewaan kitab Fathul Mu'in ini adalah menyebutkan beberapa perkhilafan di antara ulama' dan di ambil dari kitab-kitab mereka yang mu'tabar dengan mentarjih pendapat mereka baik secara Shorih/jelas atau malah melatih kecerdasan pembaca dengan hanya memberikan Isyarat atau ibarat yang samar. Dan kebanyakan, pendapat yang di ikuti oleh pengarang adalah pendapat guru belau yaitu Syeh Ibnu Hajar al Haitamy, dan guru inilah yang di kehendaki ketika pengarang menyebut Guruku (Syekhuna).
Penggunaan Istilah Syekhuna untuk sang maha guru yaitu Ibnu Hajar, ini memunjukkan betapa beliau sangat menghormati gurunya ini dan mengenggapnya sebagai orang yang paling berpengaruh dalam kehidupan intelektual beliau.
Kesimpulan
Kitab fathul Mu'in ini adalah kitab yang sangat barokah sekali, dengan format dan manhaj yang ditawarkan tentunya mempunyai sebuah rahasia yang tidak bisa di mengerti oleh orang lain. Sehingga banyak sekali ulama' yang mengaguminya, bahakan ada yang mengatakan bahwa kitab fathul Mu'in ini adalah Kitab al Tuhfah al Tsani atau Kitab Tuhfah yang kedua, selain karena pengarang adalah murid dari pengarang kitab Tuhfah, juga karena kitab Fathul Mu'in ini juga banyak sekali mengadopsi masalah dari kitab al Tuhfah.
Tulisan ini bukanlah untuk mengkritik atau mencari kesalahan-kesalahan yang ada, walaupun secara gamblang pengarang memperbolehkan siapapun untuk mengoreksi kitab beliau asal dengan cara yang tepat, tapi bagaimana pun kita tetap harus berbaik sangka dengan pengarang, karena hanya dengan itu kita bisa mengambil manfaat:
وكل من لم يعتقد لن ينتفع
Dan tulisan ini hanya bentuk analisa dari penulis dengan di gabunggan dengan literatur yang kami miliki, jadi bila terjadi kesalahan dalam analisa kami mohon untuk koreksi bersama.